June 16th, 2009
Survei
oleh sebuah stasiun televisi swasta setelah pengumuman YLKI tentang
pangan berbahan transgenik di Indonesia menunjukkan, hanya dua dari 10
orang yang tahu arti pangan transgenik. Sebagian masyarakat bahkan
cenderung membayangkan sesuatu yang menakutkan. Istilah pangan
transgenik merujuk pada pangan yang bahan dasarnya ,mengandung organisme
yang telah mengalami rekayasa genetika. Dengan teknologi itu, gen dari
berbagai sumber dapat dipindahkan ke tanaman. Gen bisa berasal dari
manusia, binatang, tumbuhan lain, bakteri, virus, bahkan DNA telanjang
yang ditemukan di tanah.
Gen adalah kumpulan asam deoksiribo
nukleat (DNA) yang mengatur dan mengendalikan sifat makhluk hidup. Ada
gen yang mengatur mengapa buah tomat ketika masak berwarna merah, kera
memiliki ekor, atau manusia Indonesia berambut hitam. Bahkan, gen dalam
batas-batas tertentu mengendalikan mengapa seseorang cenderung bertindak
agresif dan jahat sedangkan lainnya lemah- lembut.
Hingga saat ini sudah ratusan gen dari
berbagai sumber yang berhasil dipindahkan ke tanaman dan memunculkan
ratusan jenis varietas tanamana baru, disebut tanaman transgenik.
Sebagian besar tanaman transgenik belum dipasarkan. Hingga tahun 2000,
baru 24 jenis varietas tanaman transgenik dikomersialisasikan di
Amerika. Tahun ini diperkirakan lebih dari 30 varietas tanaman
transgenik dipasarkan.
Saat ini ada empat Tanaman Transgenik
utama yaitu:1). Kedelai transgenik yang menguasai 36 persen dari 72 juta
hektar (ha) area global tanaman kedelai, 2). Kapas transgenik yang
mencakup 36 persen dari 34 juta hektar, 3). Kanola transgenik , 11
persen dari 25 juta hektar, dan 4). Jagung transgenik, 7 persen dari 140
juta hektar.
Berdasarkan luas area penanaman dan sifat baru yang disisipkan, kedelai transgenik tahan herbisida menduduki ranking pertama (25,8 juta hektar) diikuti jagung Bt (tahan ulat pengerek), kanola tahan herbisida, jagung tahan herbisida, kapas tahan herbisida, kapas Bt dan tahan herbisida, kapas Bt, serta jagung Bt dan tahan herbisida.
Berdasarkan luas area penanaman dan sifat baru yang disisipkan, kedelai transgenik tahan herbisida menduduki ranking pertama (25,8 juta hektar) diikuti jagung Bt (tahan ulat pengerek), kanola tahan herbisida, jagung tahan herbisida, kapas tahan herbisida, kapas Bt dan tahan herbisida, kapas Bt, serta jagung Bt dan tahan herbisida.
Masuk Indonesia
Bahan pangan dari tanaman transgenik
sudah barang tentu masuk pula ke Indonesia, terutama kedelai dan jagung
transgenik. Hingga saat ini Pemerintah belum melakukan kajian untuk
menetapkan jenis kedelai, jagung, dan bahan pangan transgenik apa yang
boleh masuk di Indonesia. Negara-negara lain seperti Jepang, Uni Eropa,
Korea, Taiwan, Australia, Singapura, beberapa negara Timur Tengah, serta
Erropa Timur, menetapkan standar dan melakukan sendiri analisis
keamanan pangan terhadap produk-produk transgenik impor.
Ketiakmampuan menetapkann jenis bahan
pangan transgenik yang boleh masuk berisiko bagi pengusaha makanan yang
berorientasi ekspor. Karena, bila bahan transgenik itu dilarang d negara
tujuan ekspor, maka produknya akan ditolak.
Kemampuan Pemerintah melacak dan
mengendalikan distribusi bahan pangan transgenik juga berperan penting.
Hingga saat ini kita tidak tahu kemana bahan tersebut beredar serta
digunakan untuk apa. Boleh jadi bahan tersebut yang seharusnya untuk
pakan, karena ketidaktahuan masyarakat atau petani kemudian ditanam.
Melalui penyerbukan silang (sifat ini sangat dominan pada jagung
transgenik), jagung lain yang non transgenik segera berubah menjadi
transgenik.
Penolakan masyarakat Eropa, Jepang, dan
Amerika menyebabkan pangsa pasar produk pertanian bukan transgenik
(non-GMO) meningkat pesat. Hal ini sebenarnya menjadi kesempatan emas
petani-petani Indonesia dengan dukungan Pemerintah.
Resiko Kesehatan
Negara yang melakukan penanaman
komersial produk transgenik biasanya melakukan analisis keamanannya,
termasuk konsekuensi langsung dan tidak langsung. Konsekuensi langsung,
misalnya, kajian apakah terjadi perubahan nutrisi, munculnya efek
alergi, atau toksisitas akibat rekayasa genetika.
Konsekuensi tidak langsung, misalnya,
efek baru yang muncul akibat transfer gen, perubahan level ekspresi gen
pada tanaman sasaran, serta pengaruhnya terhadap metabolisme tanaman.
Beberapa efek lain yang seringkali tidak dsapat diantisipasi perlu juga
dikaji, misalnya, gene silencing, interupsi sekuens penyandi, atau
berubahnya sistem regulasi gen-gen.
Karena pangan merupakan hal yang sangart
kompleks, maka kajian keamanan pangan yang sederhana( sebagai contoh
menganalisis kandungan peptisida, logam berat, dan senyawa toksik dalm
pangan) tidak dapat dilakukan.
Berkait dengan pangan transgenik
dikembangkan pendekatan substantial equivalence, yaitu membandingkan
pangan transgenik dengan pangan konvensionalnya. Bila keduanya sama
(tidak berarti harus identik), memiliki status nutrisi sama serta serta
tidak memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan, maka pangan
transgenik tersebut aman dikonsumsi.
Namun kontroversi masih terjadi, karena
sebagai produk teknologi baru risiko jangka panjangnya belum diketahui.
Ilmuawan sendiri, tidak akan pernah mampu menyatakan bahwa suatu produk
100 persen aman karena risiko sekecil apapun akan tetap ada.
Riskio ini juga berkait dengan pola
konsumsi. Di AS, misalnya, kedelai rata-rata melalui proses pengolahan
panjang sehingga DNA maupun protein transgenik rusak sebelum dokonsumsi.
Di Indonesia, kedelai hanya melalui proses pengolahan pendek sebelum
menjadi tempe atau tahu. (Dwi Andreas Santosa, ahli genetika molekuler)
Sumber : Kompas, Senin, 11 Februari 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar