August 10th, 2009
Coklat
hadir dalam beragam bentuk, permen, kue, coklat batangan, atau es krim.
Semuanya sama-sama enak bagi penikmatnya. Dan, alasan orang untuk
menikmatinya juga beragam. Ada yang percaya pada khasiat coklat yang
‘mengasisteni’ kerja syaraf otak, menjaga kebugaran, atau bahkan diet.
Coklat diet kebanyakan penikmatnya
adalah kaum wanita. Namun, haati-hati dengan coklat diet yang mengandung
bahan fruktosa. Alih-alih tambah langsing, coklat ini malah mendorong
naiknya timbangan. Fruktosa ini masih bisa dicerna energi. Dan yang
penting fruktosa tak dapat digunakan untuk diet. Biasanya, untuk
kepentingan diet, digunakan pemanis buatan semacam aspartam. Selain itu ,
ia juga menyatakan bahwa tak jarang coklat mengandung emulsifer, berupa
lesitin. Lesitin komersial pada umumnya berasal dari tumbuhan. Paling
banyak lesitin berasal dari kedelai, ada juga dari biji bunga matahari
serta jagung. Lesitin yang berasal dari tumbuhan ini disebut lesitin
saja.
Ada pula lesitin soya kalau lesitin itu
berasal dari kedelai. Dalam pembuatannya, melibatkan proses ekstraksi
yang bertujuan untuk memperoleh minyak, baik secara fisik (pressing)
maupun menggunakan solven organik. Hasil akhirnya adalah minyak kasar.
Lalu minyak kasar ini dimurnikan yang melibatkan sejumlah proses di
dalamnya. Salah satunya adalah proses yang disebut dengan degumming.
Dari proses inilah lesitin kasar didapatkan. ”Dengan demikian sebenarnya
lesitin bisa merupakan hasil samping dari industri minyak makan,” kata
Anton Apriyantono, auditor LP POM MUI. Ia menambahkan lesitin kasar ini
kemudian melalui beberap proses lagi untuk mendapatkan lesitin standar.
Yaitu melalui proses standarisasi, pemurnian, pemilihan, dan blending.
Perlakuan lesitin ternyata juga tak sampai disini. Lesitin standar yang
telah ada, dimodifikasi secara kimia dan secara enzimitas (hidrolisis).
Salah saatu enzim yang digunakan secara
komersial dalam jumlah besar adalah enzim fosfolipase A2. Menurut Anton,
enzim ini berasal dari pankreas babi. Langkah kedua dilakukan
fraksinasi. Untuk melakukan hal itu biasanya digunakan aseton atau
etanol. Kemudian dilakukan pemcampuran bisa dilakukan dengan lemak
maupun minyak. Oleh karenanya, jelas Anton, masyarakat memang harus
memilih coklat yang telah jelas kehalalannya. Artinya, membeli produk
coklat yang telah mendapatkan sertifikat halal. Pasalnya, masyarakat tak
akan mampu memeriksa sendiri kehalalan suatu produk pangan. Sebuah
lembaga yang berwenanglah yang mampu untuk melakukan hal itu. ”Langkah
bijak adalah dengan memilih produk yang telah bersertifikat halal,”
tandas Anton Apriyantono.
Sumber: Republika 18 Juni 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar