June 16th, 2009
Apakah Anda memilih makanan halal?
Hampir bisa dipastikan bahwa konsumen Muslim akan menjawab “ya”.
Sensitivitas masyarakat terhadap produk-produk haram masih sangat tinggi
di Indonesia. Tengoklah kasus lemak babi dan kasus-kasus produk
tertentu yang dinyatakan haram. Secara spontan masyarakat akan
menghindarinya. Bahkan berita yang sifatnya masih isu, seperti isu
peredaran daging celeng yang konon digunakan dalam pembuatan baso, maka
saat itu juga penjualan baso mengalami penurunan yang drastis.
Masalah halal dan haram merupakan bagian
dari keimanan orang Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Secara
spontan seorang Muslim, bagaimanapun kualitasnya, akan menolak
produk-produk yang dinyatakan atau diisukan haram. Tetapi pada tataran
praktis, ketika dihadapkan pada produk-produk pangan yang diperdagangkan
di pasar, keyakinan itu harus berbenturan dengan ketidak mampuan
masyarakat menilai dan menganalisa, apakah produk-produk yang akan
dibeli itu halal atau tidak.
Baru-baru ini, Lembaga Pengkajian Pangan
Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI)
mengadakan jajak pendapat mengenai kepedulian konsumen terhadap halal
dan haram. Dari survey itu, banyak terungkap hal-hal yang menyangkut
apresiasi konsumen kita terhadap produk halal. Ketika ditanyakan,
tentang pengetahuan mengenai halal dan haramnya makanan yang dikonsumsi,
misalnya, 77 persen responden menjawab ya, 4 persen menjawab tidak dan
19 persen menjawab ragu-ragu.
Hal ini menunjukkan suatu kepedulian
yang cukup tinggi terhadap kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakat.
Namun demikian masih ada 19 persen yang ragu akan produk tersebut.
Keyakinan tersebut masih lebih bersifat normatif, karena tidak
disebutkan secara spesifik, bagaimana konsumen meyakini kehalalan produk
yang dikonsumsi tersebut.
Ketika dibandingkan dengan pertanyaan
“Apakah Anda melihat label halal pada produk yang Anda beli?”, maka
jawaban responden menjadi agak berubah. Sebanyak 47 persen responden
menjawab ya, 48 persen menjawab kadang-kadang, dan 5 persen menjawab
tidak. Dari pertanyaan yang lebih bersifat teknis ini terlihat penurunan
kepedulian masyarakat. Apabila dibandingkan dengan pertanyaan
sebelumnya dimana 77 persen responden mengetahui kehalalan makanan yang
dibelinya, ternyata hanya 47 persen yang melihat label halal pada
kemasannya. Dari mana konsumen mengetahui kehalalan makanan yang
dikonsumsinya, tanpa melihat label halal pada kemasannya?
Dari jawaban responden atas pertanyaan
tersebut juga menunjukkan bahwa masih cukup besar konsumen (48 persen)
yang jarang atau hanya kadang-kadang saja memperhatikan label halal pada
kemasan makanan yang dikonsumsinya. Jarangnya mereka melihat label ini
menunjukkan tingkat kepedulian mereka ketika hendak membeli sesuatu. Hal
ini juga berlaku pada label-label yang lain, bukan hanya label halal.
Kepedulian tentang tanggal kadaluwarsa, informasi nilai gizi dan
berbagai informasi lainnya, sering terlewatkan konsumen. Mungkin mereka
sudah sedemikian sibuk, sehingga jarang memperhatikan hal tersebut, atau
malah justru tidak tahu akan informasi tadi.
Label atau logo halal pada produk
makanan ini cukup menarik dibicarakan, karena pada kenyataannya tidak
semua produsen yang memasang logo halal memiliki sertifikat halal. Ada
sebagian produsen yang masih nekat menempelkan logo halal, meskipun
belum mendapatkan sertifikat halal. Hal ini banyak terjadi pada produk
makanan yang dikemas maupun pada restoran.
Mengenai keberadaan logo halal ini
rupanya mengundang keprihatinan di kalangan konsumen. Dari pertanyaan
yang diajukan tentang yakinkah Anda dengan logo halal yang ditempel oleh
pengusaha, maka hanya 10 persen responden yang menjawab ya, atau yakin.
Sebanyak 41 persen responden menjawab tidak yakin, dan 49 persen
menjawab ragu-ragu. Responden yang menjawab ragu ini bisa dikategorikan
tidak yakin terhadap keberadaan logo halal tersebut, karena masih ada
keraguan pada hatinya.
Dari sikap responden tersebut dapat
diketahui bahwa konsumen sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin dengan
logo halal yang dibuat oleh produsen makanan. Mereka kebanyakan masih
mempertanyakan, benarkah logo halal tersebut menjamin kehalalan produk
yang ada di dalamnya? Dari hasil investigasi yang dilakukan Jurnal Halal
tahun 2004 menunjukkan bahwa masih banyak produsen makanan yang
mencantumkan logo halal, meskipun setelah dilakukan klarifikasi belum
memiliki sertifikat halal. Kebanyakan produk-produk tersebut adalah
makanan atau minuman yang dihasilkan oleh industri kecil dan industri
rumah tangga. Misalnya keripik singkong, kacang goreng, berbagai jenis
sirup, dan sebagainya. Jarang sekali ditemukan produsen besar yang
melakukan praktek seperti itu.
Keberadaan produk-produk impor yang saat
ini marak di pasaran juga kami tanyakan kepada responden. Terhadap
pertanyaan “Cemaskah Anda dengan produk impor yang tidak ada keterangan
halal?”, maka sebagian besar responden (90 persen) menjawab ya. Hanya 2
persen yang menjawab tidak cemas, dan 8 persen sisanya tidak tahu. Hal
ini sekali lagi menunjukkan tingginya kepedulian konsumen terhadap
produk-produk yang terindikasi mengandung unsur-unsur tidak halal. Namun
hal inipun masih sebatas normatif, karena secara teknis akan kembali
terkait dengan kepedulian mereka dalam memilih makanan berdasarkan
kemasan dan informasi yang disampaikan melalui label yang ada pada
kemasan tersebut.
Masalah harga selama ini masih menjadi
faktor yang cukup menentukan dalam mempengaruhi keputusan membeli
seseorang. Faktor ini terutama terlihat lebih nyata di kalangan
masyarakat dengan tingkat penghasilan kurang. Faktor harga inipun kami
tanyakan kepada responden, sejauh mana mempengaruhi keputusan
dibandingkan dengan kehalalan. Terhadap pertanyaan apakah Anda
mengutamakan harga murah dibandingkan label halal, maka 10 persen dari
responden menjawab ya. Artinya mereka lebih mempertimbangkan faktor
harga sebagai penentu keputusan. Sebanyak 41 persen responden menjawab
tidak dan 49 persen menjawab ragu-ragu. Jawaban ragu-ragu ini lebih
memperlihatkan ketidakpastian konsumen atas pilihannya. Jika perbedaan
harga antara yang berlogo halal dan yang tidak berlogo halal cukup
signifikan, maka 49 persen responden bisa saja beralih kepada
produk-produk yang tidak berlogo halal.
Ketika dibandingkan beberapa parameter
sekaligus, maka responden menjawab sebagai pertimbangan utama dalam
memilih produk adalah kehalalan (56 persen), harga (24 persen), rasa (18
persen), dan hadiah (2 persen). Dari karakteristik keinginan konsumen
ini terlihat bahwa halal (masih lebih bersifat normatif) merupakan bahan
pertimbangan utama. Harga masih menjadi faktor dominan kedua yang
menentukan dalam memilih produknya.
( Tim LPPOM MUI )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar