Jumat, 30 September 2011

Masih Banyak yang Ragu

June 16th, 2009 admin
logohalalumumHasil Survey Kepedulian Konsumen: Masih Banyak yang Ragu
Apakah Anda memilih makanan halal? Hampir bisa dipastikan bahwa konsumen Muslim akan menjawab “ya”. Sensitivitas masyarakat terhadap produk-produk haram masih sangat tinggi di Indonesia. Tengoklah kasus lemak babi dan kasus-kasus produk tertentu yang dinyatakan haram. Secara spontan masyarakat akan menghindarinya. Bahkan berita yang sifatnya masih isu, seperti isu peredaran daging celeng yang konon digunakan dalam pembuatan baso, maka saat itu juga penjualan baso mengalami penurunan yang drastis.

Masalah halal dan haram merupakan bagian dari keimanan orang Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Secara spontan seorang Muslim, bagaimanapun kualitasnya, akan menolak produk-produk yang dinyatakan atau diisukan haram. Tetapi pada tataran praktis, ketika dihadapkan pada produk-produk pangan yang diperdagangkan di pasar, keyakinan itu harus berbenturan dengan ketidak mampuan masyarakat menilai dan menganalisa, apakah produk-produk yang akan dibeli itu halal atau tidak.
Baru-baru ini, Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) mengadakan jajak pendapat mengenai kepedulian konsumen terhadap halal dan haram. Dari survey itu, banyak terungkap hal-hal yang menyangkut apresiasi konsumen kita terhadap produk halal. Ketika ditanyakan, tentang pengetahuan mengenai halal dan haramnya makanan yang dikonsumsi, misalnya, 77 persen responden menjawab ya, 4 persen menjawab tidak dan 19 persen menjawab ragu-ragu.
Hal ini menunjukkan suatu kepedulian yang cukup tinggi terhadap kehalalan makanan yang dikonsumsi masyarakat. Namun demikian masih ada 19 persen yang ragu akan produk tersebut. Keyakinan tersebut masih lebih bersifat normatif, karena tidak disebutkan secara spesifik, bagaimana konsumen meyakini kehalalan produk yang dikonsumsi tersebut.
Ketika dibandingkan dengan pertanyaan “Apakah Anda melihat label halal pada produk yang Anda beli?”, maka jawaban responden menjadi agak berubah. Sebanyak 47 persen responden menjawab ya, 48 persen menjawab kadang-kadang, dan 5 persen menjawab tidak. Dari pertanyaan yang lebih bersifat teknis ini terlihat penurunan kepedulian masyarakat. Apabila dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya dimana 77 persen responden mengetahui kehalalan makanan yang dibelinya, ternyata hanya 47 persen yang melihat label halal pada kemasannya. Dari mana konsumen mengetahui kehalalan makanan yang dikonsumsinya, tanpa melihat label halal pada kemasannya?
Dari jawaban responden atas pertanyaan tersebut juga menunjukkan bahwa masih cukup besar konsumen (48 persen) yang jarang atau hanya kadang-kadang saja memperhatikan label halal pada kemasan makanan yang dikonsumsinya. Jarangnya mereka melihat label ini menunjukkan tingkat kepedulian mereka ketika hendak membeli sesuatu. Hal ini juga berlaku pada label-label yang lain, bukan hanya label halal. Kepedulian tentang tanggal kadaluwarsa, informasi nilai gizi dan berbagai informasi lainnya, sering terlewatkan konsumen. Mungkin mereka sudah sedemikian sibuk, sehingga jarang memperhatikan hal tersebut, atau malah justru tidak tahu akan informasi tadi.
Label atau logo halal pada produk makanan ini cukup menarik dibicarakan, karena pada kenyataannya tidak semua produsen yang memasang logo halal memiliki sertifikat halal. Ada sebagian produsen yang masih nekat menempelkan logo halal, meskipun belum mendapatkan sertifikat halal. Hal ini banyak terjadi pada produk makanan yang dikemas maupun pada restoran.
Mengenai keberadaan logo halal ini rupanya mengundang keprihatinan di kalangan konsumen. Dari pertanyaan yang diajukan tentang yakinkah Anda dengan logo halal yang ditempel oleh pengusaha, maka hanya 10 persen responden yang menjawab ya, atau yakin. Sebanyak 41 persen responden menjawab tidak yakin, dan 49 persen menjawab ragu-ragu. Responden yang menjawab ragu ini bisa dikategorikan tidak yakin terhadap keberadaan logo halal tersebut, karena masih ada keraguan pada hatinya.
Dari sikap responden tersebut dapat diketahui bahwa konsumen sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin dengan logo halal yang dibuat oleh produsen makanan. Mereka kebanyakan masih mempertanyakan, benarkah logo halal tersebut menjamin kehalalan produk yang ada di dalamnya? Dari hasil investigasi yang dilakukan Jurnal Halal tahun 2004 menunjukkan bahwa masih banyak produsen makanan yang mencantumkan logo halal, meskipun setelah dilakukan klarifikasi belum memiliki sertifikat halal. Kebanyakan produk-produk tersebut adalah makanan atau minuman yang dihasilkan oleh industri kecil dan industri rumah tangga. Misalnya keripik singkong, kacang goreng, berbagai jenis sirup, dan sebagainya. Jarang sekali ditemukan produsen besar yang melakukan praktek seperti itu.
Keberadaan produk-produk impor yang saat ini marak di pasaran juga kami tanyakan kepada responden. Terhadap pertanyaan “Cemaskah Anda dengan produk impor yang tidak ada keterangan halal?”, maka sebagian besar responden (90 persen) menjawab ya. Hanya 2 persen yang menjawab tidak cemas, dan 8 persen sisanya tidak tahu. Hal ini sekali lagi menunjukkan tingginya kepedulian konsumen terhadap produk-produk yang terindikasi mengandung unsur-unsur tidak halal. Namun hal inipun masih sebatas normatif, karena secara teknis akan kembali terkait dengan kepedulian mereka dalam memilih makanan berdasarkan kemasan dan informasi yang disampaikan melalui label yang ada pada kemasan tersebut.
Masalah harga selama ini masih menjadi faktor yang cukup menentukan dalam mempengaruhi keputusan membeli seseorang. Faktor ini terutama terlihat lebih nyata di kalangan masyarakat dengan tingkat penghasilan kurang. Faktor harga inipun kami tanyakan kepada responden, sejauh mana mempengaruhi keputusan dibandingkan dengan kehalalan. Terhadap pertanyaan apakah Anda mengutamakan harga murah dibandingkan label halal, maka 10 persen dari responden menjawab ya. Artinya mereka lebih mempertimbangkan faktor harga sebagai penentu keputusan. Sebanyak 41 persen responden menjawab tidak dan 49 persen menjawab ragu-ragu. Jawaban ragu-ragu ini lebih memperlihatkan ketidakpastian konsumen atas pilihannya. Jika perbedaan harga antara yang berlogo halal dan yang tidak berlogo halal cukup signifikan, maka 49 persen responden bisa saja beralih kepada produk-produk yang tidak berlogo halal.
Ketika dibandingkan beberapa parameter sekaligus, maka responden menjawab sebagai pertimbangan utama dalam memilih produk adalah kehalalan (56 persen), harga (24 persen), rasa (18 persen), dan hadiah (2 persen). Dari karakteristik keinginan konsumen ini terlihat bahwa halal (masih lebih bersifat normatif) merupakan bahan pertimbangan utama. Harga masih menjadi faktor dominan kedua yang menentukan dalam memilih produknya.
( Tim LPPOM MUI )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar