June 27th, 2009
“Disini
ada makanan yang namanya bebek balap dan kambing balap bu”, demikian
kata seorang bapak yang menemani kami saat berada di Semarang. Saya
tidak membayangkan hal yang aneh-aneh atau negatif. Toh di Surabaya juga
ada makanan yang namanya lontong balap. Dulu saat saya tahu pertama
kali saya masih kecil, dan agak sulit membayangkan gimana cara makan
makanan tersebut, kalau yang mau dimakan lagi balapan. Ternyata lontong
balap hanya sebuah nama untuk suatu makanan di Surabaya yang menggunakan
petis sebagai bumbunya.
“Tapi Ibu harus hati-hati, karena bebek
balap dan kambing balap hanyalah istilah untuk makanan yang sangat
langka dimakan orang umum, apalagi sebagai seorang muslim”. Saya jadi
penasaran mendengarnya. “Apa itu pak?” Si orang semarang ini lalu
bercerita bahwa yang namanya bebek balap adalah tikus werok yang diolah
dan kemudian disajikan sebagai makanan sedangkan kambing balap adalah
makanan yang menggunakan daging anjing.
Saya dan teman kaget luar biasa, tidak
pernah membayangkan kalau daging tikus pun akhirnya terbukti dikonsumsi
oleh manusia. Daging anjing, pada beberapa daerah (seperti Menado, Solo)
memang dikonsumsi oleh sebagian masyarakatnya. Tapi daging tikus?
Ih..serem untuk membayangkannya.
Karena penasaran kami minta diantarkan
oleh orang semarang tersebut untuk melihat dimana lokasi penjualan bebek
balap dan kambing balap tersebut. Lokasi seperti warung tenda tersebut
berada di kawasan stadion semarang. Waktu kami melihat lokasi tersebut,
masih sore sehingga belum begitu banyak warung tenda yang berdiri. Hanya
ada sekitar 3 –4 warung tenda yang sudah siap berjualan. Di warung
tersebut tertulis,”sate rw (sate anjing).Untuk istilah daging anjing,
selain kambing balap, maka “RW” juga merupakan istilah yang
diperuntukkan untuk anjing.
Menurut cerita orang semarang tersebut,
saat zaman Pak Harto (mantan Presiden Orba) warung-warung tenda yang
menjual anjing dan tikus itu dilarang dan memang sempat tidak ada warung
tenda yang sevulgar yang kami lihat pada sore itu. Namun di jaman
reformasi, maka tenda-tenda itu pun bertebaran kembali mengikuti irama
reformasi pula rupanya.
Selain bebek balap dan kambing balap
ternyata ada istilah untuk jenis makanan lain yang dijual. Jika tertulis
di warung tenda tersebut “menjual binatang buruan”, maka makanan yang
disajikan bisa dipilih apakah mau menu daging celeng, biawak, dan
binatang buruan apapun.
Lalu siapa sebenarnya konsumen warung
tenda tersebut? Menurut cerita orang semarang tersebut bahwa konsumen
warung tersebut berasal dari kalangan ekonomi bawah hingga atas. Jadi
tidak hanya sekedar tukang becak yang mengkonsumsi makanan tersebut
seperti disinyalir sebelumnya.Bisa jadi orang bermobil BMW pun menjadi
konsumen warung tenda tersebut. Walaupun tidak ada penjelasan lebih
lanjut apakah konsumen yang merata dari semua strata tersebut ada
konsumen muslimnya.
Masih menurut orang semarang tersebut,
karena permintaan pasar untuk daging anjing cukup menarik dan meningkat,
maka di beberapa daerah seperti Solo dan Yogkarta kabarnya ada
peternakan anjing yang khusus dijual untuk dikonsumsi. Harga 1 ekor
anjing diperkirakan berkisar 150-200 ribu per ekornya.
Cerita diatas memang perlu ditelaah
lebih lanjut. Tapi paling tidak kami sendiri sudah menyaksikan
warung-warung tenda yang menjual produk tersebut. Hanya belum sampai
pada siapa yang menjadi konsumennya. Anjing ataupun tikus adalah
binatang yang memang tidak ada “sejarahnya” sebagai binatang untuk
dikonsumsi. Apakah ini suatu kemunduran yang terjadi pada bangsa ini?
Paling tidak kita berharap bahwa tidak ada konsumen muslim yang menjadi
penggemar makanan tersebut. Karena di dalam aturan Islam sudah cukup
jelas apa yang diharamkan dan apa yang dihalalkan. Walllahu’alam bish
shawab. VNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar