Hampir
setiap kita membeli makanan, pasti makanan tersebut dibungkus atau
dalam wadah tertentu. Memang lebih praktis, karena kita tidak perlu
membawa-bawa wadah. Beli bakso untuk dibawa pulang, kita tidak perlu
rantang, cukup dibungkus plastik. Beli gorengan, para pedagang kreatif
dengan mendaur ulang kertas koran atau kertas bekas sebagai kantong. Mau
beli buah utuh dirasa terlalu besar, pihak supermarket menyediakan buah
potongan dalam styrofoam yang ditutup dengan plastik tipis tembus
pandang. Beli sup di restoran fast food, tak perlu mangkuk keramik yang
mudah pecah, cukup dengan mangkuk styrofoam yang langsung buang setelah
dipakai. Begitupun bila ingin menikmati mie panas saat kemping atau di
perjalanan, kita tak perlu repot bawa mangkuk.
Bahan-bahan pembungkus dan wadah itu
begitu akrab dengan kehidupan kita. Tapi, ternyata bahan-bahan itu
menyimpan bahaya bila penggunaannya tidak tepat. Plastik Apa yang tidak
terbuat dari plastik pada zaman sekarang ? Memang, bahan ini sangat
populer dipakai. Mulai dari perabotan rumah, alat-alat dapur, mainan
anak sampai bahan pembungkus. Jenis plastik sendiri memang beraneka
ragam. Ada Poli Etilen, Poli Propilen, Poli Vinil Chlorida, Vinylidene
Chloride Resin, dan sebagainya. Yang relatif lebih aman digunakan untuk
makanan adalah Poli Etilen yang tampak bening, dan Poli Propilen yang
lebih lembut dan agak tebal. Poli Vinil Chlorida (PVC) biasanya dipakai
untuk pembungkus permen, pelapis kertas nasi dan bahan penutup karena
amat tipis dan transparan. Jenis-jenis plastik ini memiliki tingkat
bahaya berbeda-beda tergantung dari material plastik, jenis makanan yang
dibungkus, lama kontak antara makanan dengan plastik, serta suhu
makanan atau ruang penyimpan. Plastik tersusun dari polimer, yakni
rantai panjang dari satuan-satuan yang lebih kecil yang disebut monomer
(bahan-bahan pembentuk plastik).
Bila makanan dibungkus dengan plastik,
monomer-monomer ini dapat berpindah ke dalam makanan, dan selanjutnya
berpindah ke tubuh orang yang mengkonsumsinya. Bahan-bahan kimia yang
telah masuk ke dalam tubuh ini tidak larut dalam air sehingga tidak
dapat dibuang keluar, baik melalui urin maupun feses (kotoran).
Penumpukan bahan-bahan kimia berbahaya dari plastik di dalam tubuh dapat
memicu munculnya kanker. Sebuah penelitian di Jepang mengindikasikan,
Poli Stiren dapat menjadi penyebab kanker dan berpengaruh pada sistem
saraf pusat. Sedangkan Poli Vynil Chlorida dan Vinylidene Chloride Resin
merupakan dioksin, yaitu senyawa kimia yang digolongkan sebagai
penyebab utama kanker karena sifatnya yang sangat beracun.
Perpindahan monomer-monomer plastik ke
dalam makanan dipicu oleh beberapa hal, yaitu panas, asam dan lemak.
Semakin tinggi suhu makanan yang dimasukkan ke dalam plastik, semakin
cepat terjadi perpindahan ini. Apalagi bila makanan berbentuk cair
seperti bakso, mie ayam, sup, sayuran berkuah dan sebagainya. Saat
makanan panas ini dimasukkan ke dalam plastik, kita bisa lihat plastik
menjadi lemas dan tipis. Inilah tanda terputusnya ikatan-ikatan monomer.
Perpindahan monomer juga terjadi bila makanan atau minuman dalam wadah
plastik terkena panas matahari secara langsung. Karena itu, usahakan
menghindari air minum dalam kemasan yang terpapar matahari, atau permen
yang telah lengket dengan pembungkusnya karena leleh oleh panas.
Perhatikan juga untuk tidak menuang air
minum atau sayuran panas ke dalam wadah plastik dan menggunakan
alat-alat makan dari plastik saat makanan masih panas. Pilih makanan
yang dikukus dengan dibungkus daun, bukan plastik seperti lemper,
lontong kue lupis dan sejenisnya. Bahan makanan yang mengandung lemak
dan asam juga memicu perpindahan monomer. Sayur bersantan, susu,
buah-buahan yang mengandung asam organik, sebaiknya tidak dibungkus
plastik. Memang ada plastik khusus yang bertuliskan tahan lemak dan
tahan dingin. Plastik ini boleh dipakai selama bahan yang dimasukkan
tidak panas. Kalaupun terpaksa menggunakan plastik sebagai pembungkus ,
usahakan secepat mungkin makanan dapat dipindahkan ke wadah yang aman,
karena semakin lama kontak makanan dengan plastik, semakin banyak bahan
berbahaya yang pindah ke makanan. Styrofoam Ia masih tergolong
“keluarga” plastik karena terbuat dari Poli Stiren.
Bahan yang lebih dikenal sebagai gabus
ini memang praktis, ringan, relatif tahan bocor dan bisa menjaga suhu
makanan dengan baik. Inilah yang membuat bahan ini amat disukai dan
banyak dipakai, termasuk dalam industri makanan instan. Namun bahan ini
sebenarnya tak kalah berbahaya dengan plastik. Dari hasil survei di AS
th. 1986, 100 persen jaringan lemak orang Amerika mengandung stiren yang
berasal dari styrofoam. Bahkan pada penelitian 2 tahun berikut,
kandungan stiren sudah mencapai ambang batas yang bisa memunculkan
gejala gangguan saraf. Sebuah studi di New Jersey, AS, menemukan bahwa
75 persen ASI mengalami kontaminasi stiren yang berasal dari konsumsi
ibu yang menggunakan wadah styrofoam. Pada ibu-ibu yang mengandung,
stiren juga bisa bermigrasi ke janin melalui plasenta. Dampak jangka
panjang dari menumpuknya stiren di dalam tubuh adalah gejala saraf
seperti kelelahan, nervous, sulit tidur dan anemia.
Pada anak, selain menyebabkan kanker,
sekian tahun kemudian stiren juga menyerang sistem reproduksinya.
Kesuburan menurun, bahkan mandul. Anak yang terbiasa mengkonsumsi stiren
juga bisa kehilangan kreativitas dan pasif. Styrofoam, sebagaimana
plastik, bersifat reaktif terhadap suhu tinggi. Padahal, salah satu
kelebihan styrofoam yang banyak diambil manfaatnya adalah kemampuannya
menahan panas. Produk-produk sup dan minuman hangat di restoran cepat
saji menggunakan wadah ini. Begitu pula produk-produk makanan instan,
mesti diseduh dalam wadahnya yang terbuat dari styrofoam. Mie instan,
bubur ayam instan misalnya. Stiren, bahan dasar styrofoam bersifat larut
l;emak dan alkohol. Berarti wadah dari jenis ini tidak cocok dijadikan
wadah susu atau yoghurt yang mengandung lemak tinggi. Begitu juga dengan
kopi yang dicampur krim.
Dengan sifat-sifatnya seperti itu, sudah
selayaknya kita lebih berhati-hati menggunakan styrofoam. Kalau hendak
menggunakan styrofoam untuk menjaga makanan tetap hangat, sebaiknya
makanan dimasukkan terlebih dahulu dalam wadah tahan panas dan dijaga
tidak ada kontak langsung dengan styrofoam. Sedangkan penggunaannya
sebagai wadah, harus diperhatikan untuk mendinginkan makanan terlebih
dahulu sebelum `memasukkan dalam wadah styrofoam. Makanan instan dan
restoran yang menggunakan wadah ini, sebaiknya dihindari demi kesehatan
kita dan keluarga kita. Kertas
Penggunaan kertas sebagai bahan
pembungkus telah meluas di masyarakat. Umumnya kertas yang digunakan
adalah kertas koran atau kertas bekas. Mulai dari untuk membungkus
sayuran, ikan kering, bumbu dapur (kalau kita belanja di pasar
tradisional atau warung), sampai aneka ragam gorengan, peuyeum, dan
sebagainya. Padahal, bila bagian kertas yang bertinta terkena panas dari
makanan, minyak dari gorengan atau bagian cair dari makanan, maka tinta
akan terlarut dalam makanan. Tinta mengandung unsur dasar timbal atau
timah hitam yang beracun. Unsur ini sama dengan yang terdapat pada
polutan dari kendaraan bermotor. Dalam tubuh, timbal akan disimpan dan
terakumulasi. Akumulasi timbal akan memicu munculnya gangguan saraf dan
kanker.
Pada wanita hamil, timbal dapat
mengakibatkan cacat bawaan pada janin dan merusak otak sehingga
kecerdasan anak rendah. Pada laki-laki dewasa, timbal menurunkan
kualitas sperma sehingga mempersulit punya keturunan. Dan pada
anak-anak, timbal mengakibatkan penurunan daya konsentrasi dan
kecerdasan. Penggunaan kertas yang berwarna putih juga berbahaya bagi
tubuh. Kertas jenis ini diputihkan dengan penambahan chlor, suatu unsur
yang dapat menimbulkan kanker.
Contoh yang menggunakan kertas ini
adalah teh celup dan tissue. Itulah bahan-bahan pembungkus dan wadah
makanan yang berbahaya. Dengan kondisi masih rendahnya kesadaran
masyarakat, maka selain pensosialisasian masalah, kita juga mulai harus
meningkatkan kehati-hatian. Penggunaan bahan-bahan yang aman seperti
daun pisang, alumunium foil, atau wadah tahan panas selayaknya kita
jadikan alternatif. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati ?
Sumber: Jurnal Halal LP POM MUI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar