Belum
banyak masyarakat yang tahu bahwa tepung terigu yang beredar di
pasaran, terutama pasar tradisional tidak semuanya buatan lokal. Meski
Indonesia merupakan negara pengekspor terigu terbesar di Asia Tenggara,
kenyataannya juga menerima impor atau kiriman terigu dari negara lain
seperti Cina. Malah, dari tahun ke tahun terigu impor yang masuk ke
pasaran Indonesia semakin meningkat tajam.
Dilihat dari bahan baku utamanya, yakni
gandum, jelas terigu adalah bahan makanan yang tidak bermasalah.
Persoalan muncul ketika terigu ditambahkan dengan zat-zat tambahan
tertentu yang tidak boleh dikonsumsi kaum muslim, orang yang
berpantangan memakan daging babi dan bagian tubuh manusia, atau pantang
memakan hewan, seperti kaum vegetarian.
Rambut Manusia
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI) mengungkapkan terigu
asal Cina ternyata mengandung L-sistein. Zat ini berfungsi sebagai
improving agent yang dapat meningkatkan sifat-sifat tepung terigu yang
diinginkan dalam pembuatan kue. Sistein dapat melembutkan protein utama
gandum sehingga adonan kue atau roti menjadi lembut. Selain itu juga
membuat adonan mengembang lebih besar. Menurut Prof. Dr. Hj. Aisjah
Girindra, Ketua LP POM MUI, L-sistein dalam terigu impor ini dibuat dari
rambut manusia. “Sesuatu yang berasal dari manusia yang dicampurkan ke
dalam makanan, haram hukumnya bagi umat Islam,” kata Aisjah yang juga
Guru Besar Biokimia pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor.
Masalah halal- haram tepung terigu tidak
terletak pada L-sistein saja. Ada produk tepung terigu yang ditambah
dengan vitamin dan mineral untuk meningkatkan nilai gizinya. Ada
sejumlah vitamin yang hanya dapat larut dalam lemak dan mudah rusak
dalam penyimpanan. Contohnya vitamin A. Agar mudah larut dalam pangan
berair dan tak cepat rusak, vitamin A perlu disalut dengan bahan
penstabil. Yang sering digunakan sebagai penstabil adalah gelatin. Tidak
semua gelatin halal. Bila berasal dari lemak tumbuhan-tumbuhan, tidak
akan jadi masalah. Yang perlu dicurigai adalah gelatin yang terbuat dari
lemak hewani, karena kebanyakan bahan bakunya berasal dari lemak babi.
Jika pembahasan tepung terigu
dilanjutkan sampai pada proses pembuatan roti atau kue, akan ditemukan
banyak unsur bahan tambahan pangan yang mengundang kekhawatiran umat
Islam. Berikut contoh bahan pengaya tepung terigu yang kerap dipakai
untuk membuat roti atau kue.
Bahan Pengembang
Diperlukan untuk mengembangkan adonan
dan membesarkan volume kue. Jenis yang sering digunakan adalah baking
soda. Dibuat secara sintetis dari bahan kimia bernama sodium bikarbonat
dan statusnya halal. Jenis pengembang lain disebut baking powder,
merupakan campuran baking soda dengan asam pengembang. Nah, asam
pengembang ini mengandung unsure cream of tartar. Gunanya mengatur rasa
dan mengeluarkan karbon dioksida dari dalam adonan agar dihasilkan
volume roti yang baik. Sayangnya kehalalan cream of tartar dipertanyakan
karena terbuat dari hasil sampingan industri minuman beralkohol yang
kemudian direaksikan dengan garam potasium.
Mentega Putih
Disebut juga shorthening, berfungsi
untuk menjadikan produk kue bertekstur lembut dan renyah. Biasa
digunakan dalam pembuatan pastry dan roti manis. Mentega putih terbuat
dari lemak tumbuhan atau hewan, bahkan adakalanya campuran dari lemak
hewani dan nabati. Bila mengandung unsur lemak hewani, status
kehalalannya perlu dipertanyakan karena bisa jadi bersumber dari lemak
babi.
Margarine
Awalnya margarine dibuat untuk
menggantikan fungsi mentega. Margarine terbuat dari lemak nabat. Yang
perlu dicermati adalah bahan tambahan penyertanya seperti, flavor,
emulsifier dan pewarna yang seringkali diragukan kehalalannya.
Cocoa Powder
Pada dasarnya cocoa powder atau bubuk
coklat tidak bermasalah dari segi kehalalan. Karena bahan baku utamanya
adalah buah cacao yang diekstrak. Namun bubuk coklat yang sekarang ini
beredar di pasaran ada yang ditambahkan dengan flavor coklat untuk
memberikan rasa yang lebih tegas. Di sinilah letak kritis keharamannya,
karena tidak sedikit bahan flavor mengandung unsur yang tidak halal.
Fakta Di balik Harga Murah
Bila Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam masih membiarkan diri terus-terusan
‘kecolongan’ banjir suplai terigu yang mengandung L-sistein berbahan
baku unsur rambut manusia, Pemerintah Korea Selatan yang tidak mengenal
konsep halal-haram justru melarang keras produk ini beredar di
negaranya. Dasar pemikirannya adalah tinjauan kesehatan.
Bahwa memasukkan unsur organ tubuh
manusia ke dalam bahan makanan merupakan tindakan kanibalisme yang dapat
mendatangkan efek negatif bagi kesehatan manusia di belakang hari.
Sebagai penganti L-sistein, digunakanlah improving agent yang terbuat
dari unsur buah-buahan.
Kasus L-sistein pada terigu ini
mengundang pertanyaan besar. Kalau ada bahan tambahan makanan yang aman
dan dapat diterima masyarakat luas, mengapa produsen memilih bahan baku
‘kontroversi’ yang mendatangkan keresahan bagi konsumennya? Tidak bisa
dipungkiri, ini adalah salah satu dampak lain dari berkembangnya ilmu
pengetahuan dan penerapan biotechnology (teknobiologi) dalam industri
pangan.
Kemajuan ini memungkinkan para produsen
mempunyai pilihan. Sebagai pihak yang selalu berpikir profit oriented,
tentu yang dicari adalah bahan-bahan pendukung terwujudnya produktivitas
dan kualitas produk yang tinggi dengan biaya produksi serendah mungkin,
dengan harapan produk dapat dipasarkan dengan harga bersaing dan laba
yang dapat didulang pun lebih banyak. Kenyataannya, di pasaran tepung
terigu yang mengandung L-sistein rambut manusia dijual dengan harga
lebih murah dari pada terigu buatan lokal yang terjamin kehalalannya.
Niat Baik Produsen
Semestinya masalah ini tidak bisa
dipandang remeh sebagai suatu kealpaan belaka. Prof. FG Winarno, MSc,
founder dan chairman PT M.Brio Food Tecnology Laboratory dan juga dosen
pada Fakultas Teknobiologi Unika Atmajaya Jakarta mengatakan seharusnya
jika suatu produk diarahkan pada pasar mayoritas muslim, seharusnya
hal-hal ini sudah diperhatikan dan diantisipaisi sebelumnya.
Karena itu, Aisjah mengatakan cap label
‘halal’ dari MUI pada kemasan produk menjadi indikator yang sangat
penting dalam memilih dan membeli produk bahan pangan. “Ini terkait
dengan itikad baik produsen. Dalam membuat dan memasarkan produk ada
etikanya. Dan mesti para produsen mematuhi itu,” kata Aisjah Girindra
menguatkan.
Bagaimanapun, kita perlu mengakui
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan banyak manfaat
dan kemudahan bagi umat manusia. Namun, kita tetap perlu semakin teliti.halalguide.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar