Penggunaan
pewarna sintetis yang tidak proporsional bisa mengganggu kesehatan.
Pewarna alami lebih aman asal bahan pendukungnya adalah bahan halal.
Dalam sehari, pernahkan Anda mengitung berapa jenis makanan yang
dikonsumsi anak kita? Permen, jeli, kue lapis, bahkan minuman warna
warni mungkin adalah makanan favorit mereka. Harganya yang tak sampai Rp
5 ribu rupiah menjadi daya tarik tersendiri. Siapa dari mereka yang
akan berpikir “jahat”-nya pewarna dalam makanan tersebut.
Bahan pewarna saat ini memang sudah
tidak bisa dipisahkan dari makanan dan minuman olahan. Berbagai makanan
yang dijual di toko, warung dan para pedagang keliling hampir selalu
menggunakan bahan pewarna. Warna ini biasanya menyesuaikan dengan rasa
yang ingin ditampilkan pada produk tersebut. Misalnya untuk rasa jeruk
diberi warna oranye, rasa stroberi dengan warna merah, rasa nanas dengan
warna kuning, rasa leci dengan warna putih, rasa anggur dengan warna
ungu, rasa pandan dengan warna hijau, dan seterusnya.
Secara umum bahan pewarna yang sering
digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan)
dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari
bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red
untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal
juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan
warna pada makanan.
Misalnya saja penggunaan rhodamin B yang
sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup.
Penggunaan pewarna jenis ini tentu saja dilarang keras, karena bisa
menimbulkan kanker dan penyakit-penyakit lainnya.
Bahan pewarna sintetis yang boleh
digunakan untuk makanan (food grade) pun harus dibatasi jumlahnya.
Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh
kita akan menimbulkan efek. Beberapa negara maju, seperti Eropa dan
Jepang bahkan telah melarang penggunaan pewarna sintetis tersebut.
Misalnya saja pewarna tartrazine, telah mulai ditinggalkan oleh negara
tertentu. Mereka lebih merekomendasikan pewarna alami, seperti beta
karoten.
Mengapa pewarna sintetis masih sangat
diminati oleh para produsen makanan? Pertama adalah masalah harga.
Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah
dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja sangat
diperhatikan oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia
yang masih cukup rendah.
Faktor kedua adalah stabilitas. Pewarna
sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya
tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan.
Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada
saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna
alami, maka warna tersebut akan segera pudar manakala mengalami proses
penggorengan.
Pewarna alami sebenarnya tidak bebas
dari masalah. Dari segi kehalalan, pewarna jenis ini justru memiliki
titik kritis yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan, pewarna natural
ini tidak stabil selama penyimpanan. Untuk mempertahankan warna agar
tetap cerah, maka sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya
dari pengaruh suhu, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya. Nah, bahan
pelapis yang sering digunakan adalah gelatin, yang berasal dari hewan.
Tentu saja gelatin ini perlu dilihat, apakah berasal dari hewan halal
atau tidak.
Salah satu contoh pewarna alami yang
digunakan dalam pengolahan pangan adalah xanthaxanthine. Bahan pewarna
yang memberikan warna merah ini diekstrak dari sejenis tanaman. Untuk
membuat pewarna tersebut stabil maka digunakan gelatin sebagai bahan
pelapis (coating) melalui sistem mikroenkapsulasi. Pewarna ini sering
digunakan pada industri daging dan ikan kaleng (ikan sardin).
Di satu sisi penggunaan pewarna sintetis
yang tidak proporsional dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun
penggunaan bahan pewarna alamipun jika tidak dilakukan secara hati-hati
dapat menjurus kepada bahan yang haram atau shubhat. Lalu bagaimana
sikap kita menghadapi dilema tersebut?
Pilihan terbaik tentu saja tetap pewarna
alami, karena ia adalah bahan alam yang tidak menimbulkan efek negatif
pada tubuh. Namun harus diingat bahwa penggunaan bahan tambahan atau
bahan penolong semisal pelapis pada pewarna tersebut harus dipilih dari
bahan-bahan yang halal. Kalau harus menggunakan gelatin sebaiknya dengan
gelatin yang halal. Bisa juga digunakan bahan lain, seperti
maltodekstrin atau karagenan yang lebih aman dari segi kehalalan.
Jika masalah harga masih menjadi
kendala, maka penggunaan bahan pewarna sintetis boleh-boleh saja. Namun
harus jenis pewarna yang untuk makanan (food grade) dengan jumlah yang
proporsional dan tidak berlebihan.
Bagi konsumen, perlu juga mengetahui
ciri-ciri pewarna yang tidak baik. Pertama, carilah makanan atau minuman
yang warnanya tidak terlalu mencolok. Misalnya, hindari makanan dengan
warna merah, kuning dan hijau yang terlihat `ngejreng’. Tidak menutup
kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan
pewarna non food grade, seperti pewarna teksil yang berbahaya bagi
kesehatan. Sedangkan untuk melihat pewarna yang halal dan yang tidak,
secara kasat mata memang agak sulit. Oleh karena itu lebih mudah memilih
makanan dan minuman yang telah bersertifikat halal. ( tim lppom mui )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar