Kamis, 17 November 2011

Dilema Pewarna Makanan


bottle_and_glass_of_incaPenggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional bisa mengganggu kesehatan. Pewarna alami lebih aman asal bahan pendukungnya adalah bahan halal. Dalam sehari, pernahkan Anda mengitung berapa jenis makanan yang dikonsumsi anak kita? Permen, jeli, kue lapis, bahkan minuman warna warni mungkin adalah makanan favorit mereka. Harganya yang tak sampai Rp 5 ribu rupiah menjadi daya tarik tersendiri. Siapa dari mereka yang akan berpikir “jahat”-nya pewarna dalam makanan tersebut.

Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari makanan dan minuman olahan. Berbagai makanan yang dijual di toko, warung dan para pedagang keliling hampir selalu menggunakan bahan pewarna. Warna ini biasanya menyesuaikan dengan rasa yang ingin ditampilkan pada produk tersebut. Misalnya untuk rasa jeruk diberi warna oranye, rasa stroberi dengan warna merah, rasa nanas dengan warna kuning, rasa leci dengan warna putih, rasa anggur dengan warna ungu, rasa pandan dengan warna hijau, dan seterusnya.
Secara umum bahan pewarna yang sering digunakan dalam makanan olahan terbagi atas pewarna sintetis (buatan) dan pewarna natural (alami). Pewarna sintetis pada umumnya terbuat dari bahan-bahan kimia. Misalnya tartrazin untuk warna kuning, allura red untuk warna merah, dan seterusnya. Kadang-kadang pengusaha yang nakal juga menggunakan pewarna bukan makanan (non food grade) untuk memberikan warna pada makanan.
Misalnya saja penggunaan rhodamin B yang sering digunakan untuk mewarnai terasi, kerupuk dan minuman sirup. Penggunaan pewarna jenis ini tentu saja dilarang keras, karena bisa menimbulkan kanker dan penyakit-penyakit lainnya.
Bahan pewarna sintetis yang boleh digunakan untuk makanan (food grade) pun harus dibatasi jumlahnya. Karena pada dasarnya, setiap benda sintetis yang masuk ke dalam tubuh kita akan menimbulkan efek. Beberapa negara maju, seperti Eropa dan Jepang bahkan telah melarang penggunaan pewarna sintetis tersebut. Misalnya saja pewarna tartrazine, telah mulai ditinggalkan oleh negara tertentu. Mereka lebih merekomendasikan pewarna alami, seperti beta karoten.
Mengapa pewarna sintetis masih sangat diminati oleh para produsen makanan? Pertama adalah masalah harga. Pewarna kimia tersebut dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan pewarna alami. Masalah ini tentu saja sangat diperhatikan oleh produsen, mengingat daya beli masyarakat Indonesia yang masih cukup rendah.
Faktor kedua adalah stabilitas. Pewarna sintetis memiliki tingkat stabilitas yang lebih baik, sehingga warnanya tetap cerah meskipun sudah mengalami proses pengolahan dan pemanasan. Sedangkan pewarna alami mudah mengalami degradasi atau pemudaran pada saat diolah dan disimpan. Misalnya kerupuk yang menggunakan pewarna alami, maka warna tersebut akan segera pudar manakala mengalami proses penggorengan.
Pewarna alami sebenarnya tidak bebas dari masalah. Dari segi kehalalan, pewarna jenis ini justru memiliki titik kritis yang lebih tinggi. Sebagaimana dijelaskan, pewarna natural ini tidak stabil selama penyimpanan. Untuk mempertahankan warna agar tetap cerah, maka sering digunakan bahan pelapis untuk melindunginya dari pengaruh suhu, cahaya dan kondisi lingkungan lainnya. Nah, bahan pelapis yang sering digunakan adalah gelatin, yang berasal dari hewan. Tentu saja gelatin ini perlu dilihat, apakah berasal dari hewan halal atau tidak.
Salah satu contoh pewarna alami yang digunakan dalam pengolahan pangan adalah xanthaxanthine. Bahan pewarna yang memberikan warna merah ini diekstrak dari sejenis tanaman. Untuk membuat pewarna tersebut stabil maka digunakan gelatin sebagai bahan pelapis (coating) melalui sistem mikroenkapsulasi. Pewarna ini sering digunakan pada industri daging dan ikan kaleng (ikan sardin).
Di satu sisi penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun penggunaan bahan pewarna alamipun jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjurus kepada bahan yang haram atau shubhat. Lalu bagaimana sikap kita menghadapi dilema tersebut?
Pilihan terbaik tentu saja tetap pewarna alami, karena ia adalah bahan alam yang tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh. Namun harus diingat bahwa penggunaan bahan tambahan atau bahan penolong semisal pelapis pada pewarna tersebut harus dipilih dari bahan-bahan yang halal. Kalau harus menggunakan gelatin sebaiknya dengan gelatin yang halal. Bisa juga digunakan bahan lain, seperti maltodekstrin atau karagenan yang lebih aman dari segi kehalalan.
Jika masalah harga masih menjadi kendala, maka penggunaan bahan pewarna sintetis boleh-boleh saja. Namun harus jenis pewarna yang untuk makanan (food grade) dengan jumlah yang proporsional dan tidak berlebihan.
Bagi konsumen, perlu juga mengetahui ciri-ciri pewarna yang tidak baik. Pertama, carilah makanan atau minuman yang warnanya tidak terlalu mencolok. Misalnya, hindari makanan dengan warna merah, kuning dan hijau yang terlihat `ngejreng’. Tidak menutup kemungkinan warna yang terlalu mencolok tersebut berasal dari bahan pewarna non food grade, seperti pewarna teksil yang berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan untuk melihat pewarna yang halal dan yang tidak, secara kasat mata memang agak sulit. Oleh karena itu lebih mudah memilih makanan dan minuman yang telah bersertifikat halal. ( tim lppom mui )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar