Ketika
arak tidak boleh digunakan, seorang pengelola restoran meminta kepada
auditor LPPOM-MUI untuk mencarikan alternatif pengganti. Mencari
alternatif arak bagi keperluan tersebut tidaklah mudah. Jika fungsi
menghilangkan amis pada daging atau ikan, maka sebenarnya asam cuka
sudah cukup. Tetapi ketika bahan tersebut sudah direkomendasikan,
pengelola restoran tersebut keberatan, dengan alasan rasa masakan yang
dihasilkan tidaklah sama dengan ketika memakai arak.
Nah, dalam hal ini ternyata arak bukan
semata-mata untuk melunakkan daging atau menghilangkan bau amis. Tetapi
rasa dan aroma arak itulah yang dikehendaki untuk menghasilkan makanan
dengan rasa tertentu.
Jika demikian alternatif pengganti bagi
arak tersebut tidak dapat diberikan. Arak sudah dimanfaatkan rasa dan
aromanya, sehingga hakikat khamr itulah yang diinginkan dari minuman
keras tersebut. Padahal kalau sudah sifat dan karakter khamr, maka
diubah dan diganti dengan bahan apapun, maka hukumnya tetaplah sama,
yaitu haram.
Fenomena ini rupanya berimbas juga pada
pembuatan flavor atau bahan perasa sintetis yang menyerupai rasa dan
karakter arak. Misalnya dengan adanya rhum flavor, yang banyak digunakan
dan dihasilkan oleh beberapa produsen makanan. Rhum flavor sebenarnya
adalah perasa alternatif yang dibuat dari bahan-bahan sintetis, atau
bahan natural yang tidak ada hubungannya dengan alkohol atau minuman
keras.
Akan tetapi dengan meniru karakter arak,
hal ini sama saja dengan mengkampanyekan rasa dan aroma arak kepada
masyarakat luas. Masyarakat akhirnya mengenal dan merasa menikmati
dengan karakter rasa tersebut.
Hal inilah yang tidak dapat diterima
oleh kalangan ulama. Oleh karena itu dalam salah satu keputusannya
komisi fatwa MUI melarang penggunaan nama atau istilah yang mengarah
pada minuman keras, serta tidak membolehkan bahan perasa atau flavor
yang memiliki karakter minuman keras (khamr).
Pelarangan ini memang cukup berat karena
harus berbenturan dengan keinginan produsen yang masih berniat
menggunakan rasa yang identik dengan arak, baik untuk masakan restoran
maupun produk olahan.
Keputusan pelarangan karakter rasa
khamer ini sebelumnya bukan hal baru. Beberapa waktu lalu pelarangan
yang sama juga sudah diberikan untuk nama dan atau karakter yang
mengarah kepada babi. Misalnya menggunakan istilah bacon, ham serta rasa
yang mengindikasikan pada rasa babi atau yang semisal dengannya.
Meskipun terbuat dari bahan-bahan sintetis, tetapi kalau rasa yang
dihasilkan mirip dengan rasa babi, maka hal itu juga tidak
diperbolehkan.
Kini dengan pelarangan tersebut konsumen
harus diberikan penjelasan yang lengkap. Mungkin pada saat awal akan
terjadi benturan kepentingan dengan produsen, karena rasa makanan yang
berbau-bau arak konon menghasilkan rasa dan aroma yang menggiurkan. Akan
tetapi kalau konsumen, khususnya yang muslim, diberikan pengertian ini,
maka tuntutan akan makanan yang halal menjadi lebih dominan ketimbang
sekedar enak, tetapi diragukan atau bahkan jelas keharamannya. [Tim LP
POM MUI]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar