Sebagai makanan penutup, puding banyak diminati. Dengan rasanya yang manis dan teksturnya yang lembut, pudding banyak disajikan pada acara-acara pesta. Tampilan dan bentuknya bermacam-macam, dengan variasi rasa yang beragam: cokelat, vanila, melon, stroberi, mangga, jeruk, moka, dan sebagainya.
Membuatnya pun tak sulit-sulit amat.
Bahan dasarnya adalah tepung tapioka atau pati termodifikasi, susu, whey
powder, gula, karagenan, atau kadang-kadang juga gelatin. Untuk
menghasilkan puding dengan tekstur yang lembut biasanya dibutuhkan
campuran bahan-bahan yang tepat, kemudian dicampurkan dengan air dan
dimasak. Bahan tambahan yang biasa dipakai adalah bahan perasa dan bahan
pewarna. Perasa dan pewarna ini disesuaikan, misalnya untuk rasa jeruk
digunakan warna oranye, untuk rasa cokelat dengan warna coklat, dan
seterusnya.
Meskipun sederhana, dibutuhkan kejelian
dan kecermatan dalam mencampur berbagai bahan tersebut untuk
menghasilkan puding dengan rasa dan tekstur yang sesuai dengan
keinginan. Jika kurang pas, maka akan dihasilkan puding yang terlalu
lembek atau terlalu keras. Keduanya sama-sama tidak dikehendaki. Sebab
yang diinginkan adalah puding yang lembut, halus, tidak ada yang keras,
tidak lembek, enak dipandang, dan enak pula dikunyah.
Jika tidak ingin repot, kini tersedia
bahan puding istan. Membuatnya jauh lebih mudah, tinggal menuangkan
seluruh isinya, menambahkan air dengan takaran tertentu dan merebus
sebentar. Setelah itu puding siap dicetak dan ditunggu dingin. Ketika
sudah dingin, maka makanan yang lezat itupun siap dihidangkan dan
disantap.
Beberapa produsen bahkan ada yang sudah
melengkapinya dengan vla. Vla adalah cairan kental yang dicampurkan dan
dimakan bersama pudding. Kehadiran vla ini membuat pudding yang sudah
lezat itu bertambah nikmat dan menarik untuk dicicipi.
Sebagai konsumen Muslim, tentunya kita
harus melihat secara kritis, apakah makanan lezat yang menarik itu
dijamin kehalalannya ataukah tidak. Menilik bahan-bahan yang
digunakannya, maka pudding dan vla ini perlu mendapatkan perhatian
khusus.
Pertama adalah bahan pembetuk gel atau
pembuat tekstur. Pada beberapa puding memang digunakan pati atau pati
termodifikasi sebagai bahan penghasil gel. Ketika ditambahkan air dan
dipanaskan, maka akan terjadi reaksi gelatinisasi. Air akan terserap ke
dalam pati tersebut dan terjebak dalam matriks, sehingga menghasilkan
tekstur kenyal. Namun ketika hanya pati saja yang digunakan, maka gel
tersebut tidak terlalu kuat, sehingga pada waktu tertentu akan terjadi
proses pengeluaran air dari matriks dan gel akan pecah.
Hal demikian tentu saja tidak
dikehendaki. Oleh karena itu, biasanya ditambahkan bahan pembentuk gel
lain yang lebih stabil. Celakanya, bahan itu bisa jadi tidak halal,
seperti penggunaan gelatin dari tulang babi atau hewan lain yang
diragukan kehalalannya. Penggunaan gelatin selain menghasilkan gel yang
lebih stabil juga membuat tekstur pudding menjadi lebih lembut dan
kenyal.
Bahan lain yang sering digunakan dalam
pembuatan puding ini adalah whey powder. Sebenarnya whey powder berasal
dari susu, dan biasanya berasal dari susu sapi. Tetapi dalam proses
pembuatannya, whey ini menggunakan rennet untuk memisahkan antara
padatan dan cairannya. Sebenarnya whey merupakan produk samping dari
proses pembuatan keju. Bagian padatannya menjadi keju, sedangkan bagian
cairannya diproses lebih lanjut menjadi whey powder.
Penggunaan rennet inilah yang perlu
dikaji lebih lanjut, apakah berasal dari rennet halal ataukah tidak.
Rennet yang ada di pasaran bisa berasal dari produk mikrobial, dari
perut anak sapi atau dari perut babi. Ketika berasal dari rennet babi,
maka hal ini akan menjadikan keju dan whey yang dihasilkannya haram.
Demikian juga ketika berasal dari anak sapi, mesti dilihat, apakah
proses penyembelihannya menggunakan cara Islam ataukah tidak. Sebab jika
tidak disembelih sesuai dengan aturan Islam, maka produk yang
dihasilkannya juga menjadi haram. Sedangkan untuk rennet yang diproduksi
secara mikrobial, masih harus dilihat, apakah media yang digunakan
untuk menumbuhkan mikroba tersebut berasal dari bahan yang halal,
ataukah dari yang haram atau najis.
Terakhir, bahan perasa yang digunakan
perlu pula dikaji, apakah halal atau tidak. Untuk menghasilkan berbagai
rasa, seperti cokelat, jeruk, melon, mangga, vanila dan seterusnya,
biasanya digunakan bahan perasa. Nah, bahan perasa inipun juga bisa
berasal dari bahan-bahan yang meragukan. Meskipun rasa buah-buahan,
tidak jarang juga digunakan alkohol atau turunannya sebagai pelarut.
Misalnya saja fusel oil dan cognag oil yang merupakan hasil samping dari
minuman keras. Penggunaan bahan-bahan tersebut ternyata tidak
diperbolehkan menurut Komisi Fatwa MUI.
Nah, dari berbagai kajian terhadap bahan
tersebut, perlu kiranya kita mencermati puding menggiurkan yang
disajikan di depan kita. Tentu saja tidak semua puding tersebut berarti
haram. Banyak juga produk puding yang sudah mendapatkan sertifikat
halal.Nur Wahid, Auditor LPPOM MUI dan Ketua Redaksi Jurnal Halal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar