Pertanyaan:
"Bagaimana hukum merayakan Tahun Baru Hijriyah..?? Dan yang berkenaan dengan ‘ucapan selamat’ saat memasuki tahun baru Hijriyah, dan bagaimana tanggapan (kita) atas mereka yang menyambut (tahun baru Hijriyah) tersebut..?
Jawaban:
Pada dasarnya segala bentuk ibadah bersifat tauqifiyah, tidak berhak seorangpun untuk membuat (mengada-ada) satu bentuk ibadah di mana syari’at tidak mengizinkannya. Allah Ta’alka berfirman, artinya, “….Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih." (QS. 42:21)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, artinya, “…Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45:18)
Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mendatangkan suatu perbuatan baru (mengada-ada) dalam urusan kita ini (agama) sesuatu yangbukan darinya maka hal itu adalah ditolak." (Muttafaqun ‘alaih).
Dan dalam lafazh Imam Muslim yang dita'liq kan (diriwayatkan secara mu'allaq) oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya dengan lafazh yang Jazm (tegas, pasti), "Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan dari urusan kami (agama) maka hal itu adalah ditolak." (HR. Muslim)
Maka segala bentuk perayaan sebagai wujud ibadah hukumnya tidak boleh kecuali ada dalilnya……Meskipun telah dilakukan oleh matoritas manusia di penjuru dunia, karena tidak bisa perbuatan tersebut dinamakan sunnah dengan lantaran perbuatan manusia, dan di dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah (baik), bahkan setiap bid’ah itu adalah perbuatan munkar, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Muslim) dan dalam riwayat an-Nasa’i terdapat tambahan, “Dan setiap kesesatan berada di neraka.”(HR. an-Nasa’i)………Oleh karena itu tidak selayaknya bagi kita mengecualikan sesuatu dari permasalahan ini kecuali dengan dalil syar’i, karena hokum ini bersifat umum, dan setiap bid’ah itu adalah sesat sebagaimana hukum ini berlaku untuk perayaan malam Isra’ dan Mi’raj, Malam Nishfi Sya’ban, Hijrahnya Nabi, hari Fathu Makkah atau Hari Badr, keseluruhannya termasuk perkara bid’ah.
Karena hal ini semua ada pada jaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak merayakannya, dan sekiranya hal itu sebagai bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, selayaknya beliau merayakannya, atau memerintahkannya kepada para Sahabat, atau para Sahabat melakukannya setelah masa beliau. Dengan demikian jika hal ini tidak pernah dilakukan, maka kita mengetahui bahwa sesungguhnya hal ini semua adalah bid’ah, dan perayaan-perayaan tersebut tidak disyari’atkan.........dst. [1]
Adapun pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya, “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab, “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah". Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain. [2]
Adapun jika seseorang memberikan ucapan selamat kepada anda, kemudian bereaksi terhadap dia, tetapi seseorang tersebut tidak memulainya; maka ini adalah sikap yang benar dalam kasus ini. Jika seorang laki-laki, sebagai contoh, berkata, "Kami ucapkan selamat tahun baru (Hijriyah)," maka katakan, "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada anda dan menjadikannya sebagai tahun kebaikan dan barakah." Namun, jangan engkau memulai sendiri (ucapan ini), sebab saya tidak mengetahui hal ini datang dari pendahulu (Salafus Shalih) kita, dimana mereka dulu memberi selamat satu sama lain untuk tahun baru. Bahkan, (saya) mengetahui bahwa Salaf tidak mengambil Muharram sebagai bulan pertama tahun hijriyah, kecuali setelah kepemimpinan Umar bin Khattab, semoga Allah merahmatinya. [3]
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Allah ta’ala selalu memberikan taufiq bagi kita dan kaum Muslimin terhadap apa yang diridhainya, keselamatn dari sebab-sebab kemurkaan-Nya, keteapan pada sunnah, dijauhkan dari perkara bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat.
-------------------------
[1] Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
[2] Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[3] Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[Sumber: Dinukil dari beberapa sumber]
"Bagaimana hukum merayakan Tahun Baru Hijriyah..?? Dan yang berkenaan dengan ‘ucapan selamat’ saat memasuki tahun baru Hijriyah, dan bagaimana tanggapan (kita) atas mereka yang menyambut (tahun baru Hijriyah) tersebut..?
Jawaban:
Pada dasarnya segala bentuk ibadah bersifat tauqifiyah, tidak berhak seorangpun untuk membuat (mengada-ada) satu bentuk ibadah di mana syari’at tidak mengizinkannya. Allah Ta’alka berfirman, artinya, “….Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan.Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih." (QS. 42:21)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, artinya, “…Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45:18)
Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang mendatangkan suatu perbuatan baru (mengada-ada) dalam urusan kita ini (agama) sesuatu yangbukan darinya maka hal itu adalah ditolak." (Muttafaqun ‘alaih).
Dan dalam lafazh Imam Muslim yang dita'liq kan (diriwayatkan secara mu'allaq) oleh Imam Bukhari rahimahullah dalam shahihnya dengan lafazh yang Jazm (tegas, pasti), "Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang bukan dari urusan kami (agama) maka hal itu adalah ditolak." (HR. Muslim)
Maka segala bentuk perayaan sebagai wujud ibadah hukumnya tidak boleh kecuali ada dalilnya……Meskipun telah dilakukan oleh matoritas manusia di penjuru dunia, karena tidak bisa perbuatan tersebut dinamakan sunnah dengan lantaran perbuatan manusia, dan di dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah (baik), bahkan setiap bid’ah itu adalah perbuatan munkar, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Muslim) dan dalam riwayat an-Nasa’i terdapat tambahan, “Dan setiap kesesatan berada di neraka.”(HR. an-Nasa’i)………Oleh karena itu tidak selayaknya bagi kita mengecualikan sesuatu dari permasalahan ini kecuali dengan dalil syar’i, karena hokum ini bersifat umum, dan setiap bid’ah itu adalah sesat sebagaimana hukum ini berlaku untuk perayaan malam Isra’ dan Mi’raj, Malam Nishfi Sya’ban, Hijrahnya Nabi, hari Fathu Makkah atau Hari Badr, keseluruhannya termasuk perkara bid’ah.
Karena hal ini semua ada pada jaman Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak merayakannya, dan sekiranya hal itu sebagai bentuk taqarrub kepada Allah Ta’ala, selayaknya beliau merayakannya, atau memerintahkannya kepada para Sahabat, atau para Sahabat melakukannya setelah masa beliau. Dengan demikian jika hal ini tidak pernah dilakukan, maka kita mengetahui bahwa sesungguhnya hal ini semua adalah bid’ah, dan perayaan-perayaan tersebut tidak disyari’atkan.........dst. [1]
Adapun pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya, “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab, “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah". Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“
Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.
Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain. [2]
Adapun jika seseorang memberikan ucapan selamat kepada anda, kemudian bereaksi terhadap dia, tetapi seseorang tersebut tidak memulainya; maka ini adalah sikap yang benar dalam kasus ini. Jika seorang laki-laki, sebagai contoh, berkata, "Kami ucapkan selamat tahun baru (Hijriyah)," maka katakan, "Semoga Allah memberikan kebaikan kepada anda dan menjadikannya sebagai tahun kebaikan dan barakah." Namun, jangan engkau memulai sendiri (ucapan ini), sebab saya tidak mengetahui hal ini datang dari pendahulu (Salafus Shalih) kita, dimana mereka dulu memberi selamat satu sama lain untuk tahun baru. Bahkan, (saya) mengetahui bahwa Salaf tidak mengambil Muharram sebagai bulan pertama tahun hijriyah, kecuali setelah kepemimpinan Umar bin Khattab, semoga Allah merahmatinya. [3]
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Allah ta’ala selalu memberikan taufiq bagi kita dan kaum Muslimin terhadap apa yang diridhainya, keselamatn dari sebab-sebab kemurkaan-Nya, keteapan pada sunnah, dijauhkan dari perkara bid’ah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat.
-------------------------
[1] Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
[2] Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[3] Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
[Sumber: Dinukil dari beberapa sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar