Seorang pemuda berinisial (H.M.) yang baru berusia
dua puluh empat tahun, sama sekali tidak membayangkan kalau pada suatu
hari dia bangun tidur dalam keadaan mendapati tangan kanannya lumpuh.
Akan tetapi inilah yang terjadi pada pemuda celaka tersebut, anak
satu-satunya kedua orang tuanya. Dia biasa mencaci dan memaki kedua
orang tuanya tanpa memperhatikan sama sekali sesuatu yang diajarkan oleh
agama yang hanif ini berupa perintah untuk menaati kedua orang
tua dan memuliakan keduanya. Setelah kematian ayahnya, bertambahlah
kekasarannya terhadap ibunya, hanya karena sang ibu menasihatinya agar
menjauhi teman-teman buruk, yang menjadi sebab pelajarannya tertinggal
dan menyimpang menjadi anak nakal.
Pada suatu hari, sang ibu menakut-nakutinya dengan salah satu pamannya (dari ibu) yang dia takuti di masa lalu. Namun justru dia memaki-maki pamannya dan menantang akan melakukan sesuatu terhadapnya. Kemarahannya tambah memuncak dan melempar ibunya dengan sepatu yang mengenai punggung ibunya.
Ibunya pun mulai menangis karena perbuatan anaknya yang durhaka. Dia mendoakan kecelakan atasnya. Seketika pada hari berikutnya, tatkala pemuda itu bangun dari tidur, dia mendapati dirinya tidak dapat menggerakkan tangan kanannya (karena lumpuh).
Pemuda itu menutup pintu kamarnya menyendiri, siang dan malam selalu menangisi apa yang pernah dia perbuat terhadap kedua orang tuanya. Ibunya pun merasa kasihan. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali berdoa kepada Allah Ta’ala agar menyembuhkan belahan hatinya. (Aqibah Uquq al-Walidain, hal. 99-100)
Diposting oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim, dinukil dari : “Sungguh Merugi Siapa yang Mendapati Orang Tuanya Masih Hidup Tapi Tidak Meraih Surga”, karya : Ghalib bin Sulaiman bin Su'ud al-Harbi. Edisi terjemah cet. Pustaka Darul Haq Jakarta.
Pada suatu hari, sang ibu menakut-nakutinya dengan salah satu pamannya (dari ibu) yang dia takuti di masa lalu. Namun justru dia memaki-maki pamannya dan menantang akan melakukan sesuatu terhadapnya. Kemarahannya tambah memuncak dan melempar ibunya dengan sepatu yang mengenai punggung ibunya.
Ibunya pun mulai menangis karena perbuatan anaknya yang durhaka. Dia mendoakan kecelakan atasnya. Seketika pada hari berikutnya, tatkala pemuda itu bangun dari tidur, dia mendapati dirinya tidak dapat menggerakkan tangan kanannya (karena lumpuh).
Pemuda itu menutup pintu kamarnya menyendiri, siang dan malam selalu menangisi apa yang pernah dia perbuat terhadap kedua orang tuanya. Ibunya pun merasa kasihan. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan kecuali berdoa kepada Allah Ta’ala agar menyembuhkan belahan hatinya. (Aqibah Uquq al-Walidain, hal. 99-100)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar