Selasa, 13 Desember 2011

Penting Menelusur Kehalalan Produk

Kehidupan manusia memiliki hubungan erat dengan makanan dan minuman. Ia bahkan berkait kelindan dengan pasokan tenaga dan semangat kerja. Hal ini dapat digambarkan dalam Alquran surat Al-Muminun ayat 51 yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengonsumsi makanan yang baik dan mengerjakan amal saleh. Menurut Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Ibrahim, keterangan dalam surat tersebut menunjukkan adanya hubungan yang erat antara makanan dan minuman dengan amal saleh. Oleh karenanya, agar umat Islam dapat mengerjakan amal saleh dengan baik, maka makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuhnya haruslah yang statusnya juga baik dan halal.

Seorang Muslim, mesti memiliki kehati-hatian terhadap makanan serta minuman yang mereka konsumsi. ”Apalagi industri makanan kini semakin berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Beragama produk baru yang bermunculan dan mesti mendapatkan perhatian atas status kehalalannya,” ujarnya.
Produk-produk baru tersebut, kata dia, telah menembus batas-batas negara dan sebagian besar umat Islam menjadi konsumen atas barang-barang itu. Dalam menghadapi produk-produk ini, umat Islam tak dapat bersikap netral. ”Umat Islam harus mampu merujuk pada etika Islam yang terkait dengan makanan dan minuman,” tambah Amwar.
Selain makanan dan minuman yang mereka konsumsi dihasilkan dari usaha yang halal, bahan-bahan pembuatnya juga harus berasal dari bahan yang status kehalalannya jelas pula. ”Alquran telah meneguhkan hal ini melalui Surat Al Baqarah ayat 168, yang memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.”
Anwar menyatakan, penerapan kewajiban ini menuntut umat Islam untuk mengetahui bahan-bahan yang digunakan dalam produk makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi. Sesuai prinsip hukum Islam, katanya, maka apabila suatu kewajiban hanya dapat dilakukan melalui wasilah tertentu maka hukum melaksanakan wasilah tersebut wajib pula.
Dengan demikian, hukum mengetahui bahan-bahan dari sebuah produk yang akan dikonsumsi atau digunakan telah menjadi kewajiban umat Islam. Namun dalam menjalankan kewajiban ini, perlu adanya kerjasama dengan berbagai pihak baik produsen, pemerintah, maupun masyarakat agar umat Islam sebagai konsumen mendapatkan perlindungan.
Ia menuturkan, dalam hal ini produsen memang menjadi pihak yang sangat bertanggung jawab. Sebab produsenlah yang mengetahui dengan pasti rahasia produknya, termasuk bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatannya. ”Mereka mestinya menggunakan bahan halal dalam proses produksinya sebagai tanggung jawab sosial.”
Mereka pun mesti memasang label pada kemasan yang menerangkan kandungan dalam produknya. Bagi umat Islam, ketidakhalalan produk merupakan cacat hukum. Menurut Anwar hal tersebut bisa dikaitkan dengan keputusan menteri agama dan menteri kesehatan nomor 427/MEN KES/VIII/1985 nomor 68 tahun 1985 tentang pencantuman tulisan halal pada label makanan.
Ia menjelaskan, pada pasal 2 dinyatakan bahwa produsen yang mencantumkan tulisan halal pada label atau penandaan makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut bagi pemeluk agama Islam. Dengan demikian, produsen memiliki tanggung jawab yang besar atas kehalalan produknya pada konsumen yang beragama Islam.
Di sisi lain, kata dia, MUI pun selama ini telah memberikan peluang bagi para produsen untuk mengajukan sertifikasi halal. ”Pihak MUI akan melakukan pemeriksaan terhadap bahan-bahan hingga proses produksi untuk meyakinkan bahwa produk tersebut benar-benar berstatus halal,” katanya. Dengan begitu, umat Islam sebagai konsumen terbesar akan merasakan keamanan dalam mengonsumsi sebuah produk baik makanan maupun minuman.
Sumber: Republika 12 November 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar