Kehidupan manusia memiliki hubungan erat
dengan makanan dan minuman. Ia bahkan berkait kelindan dengan pasokan
tenaga dan semangat kerja. Hal ini dapat digambarkan dalam Alquran surat
Al-Muminun ayat 51 yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk
mengonsumsi makanan yang baik dan mengerjakan amal saleh. Menurut Wakil
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Ibrahim,
keterangan dalam surat tersebut menunjukkan adanya hubungan yang erat
antara makanan dan minuman dengan amal saleh. Oleh karenanya, agar umat
Islam dapat mengerjakan amal saleh dengan baik, maka makanan dan minuman
yang masuk ke dalam tubuhnya haruslah yang statusnya juga baik dan
halal.
Seorang Muslim, mesti memiliki
kehati-hatian terhadap makanan serta minuman yang mereka konsumsi.
”Apalagi industri makanan kini semakin berkembang dengan pesat seiring
dengan perkembangan teknologi. Beragama produk baru yang bermunculan dan
mesti mendapatkan perhatian atas status kehalalannya,” ujarnya.
Produk-produk baru tersebut, kata dia,
telah menembus batas-batas negara dan sebagian besar umat Islam menjadi
konsumen atas barang-barang itu. Dalam menghadapi produk-produk ini,
umat Islam tak dapat bersikap netral. ”Umat Islam harus mampu merujuk
pada etika Islam yang terkait dengan makanan dan minuman,” tambah Amwar.
Selain makanan dan minuman yang mereka
konsumsi dihasilkan dari usaha yang halal, bahan-bahan pembuatnya juga
harus berasal dari bahan yang status kehalalannya jelas pula. ”Alquran
telah meneguhkan hal ini melalui Surat Al Baqarah ayat 168, yang
memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi.”
Anwar menyatakan, penerapan kewajiban
ini menuntut umat Islam untuk mengetahui bahan-bahan yang digunakan
dalam produk makanan dan minuman yang akan mereka konsumsi. Sesuai
prinsip hukum Islam, katanya, maka apabila suatu kewajiban hanya dapat
dilakukan melalui wasilah tertentu maka hukum melaksanakan wasilah
tersebut wajib pula.
Dengan demikian, hukum mengetahui
bahan-bahan dari sebuah produk yang akan dikonsumsi atau digunakan telah
menjadi kewajiban umat Islam. Namun dalam menjalankan kewajiban ini,
perlu adanya kerjasama dengan berbagai pihak baik produsen, pemerintah,
maupun masyarakat agar umat Islam sebagai konsumen mendapatkan
perlindungan.
Ia menuturkan, dalam hal ini produsen
memang menjadi pihak yang sangat bertanggung jawab. Sebab produsenlah
yang mengetahui dengan pasti rahasia produknya, termasuk bahan-bahan
yang digunakan dalam proses pembuatannya. ”Mereka mestinya menggunakan
bahan halal dalam proses produksinya sebagai tanggung jawab sosial.”
Mereka pun mesti memasang label pada
kemasan yang menerangkan kandungan dalam produknya. Bagi umat Islam,
ketidakhalalan produk merupakan cacat hukum. Menurut Anwar hal tersebut
bisa dikaitkan dengan keputusan menteri agama dan menteri kesehatan
nomor 427/MEN KES/VIII/1985 nomor 68 tahun 1985 tentang pencantuman
tulisan halal pada label makanan.
Ia menjelaskan, pada pasal 2 dinyatakan
bahwa produsen yang mencantumkan tulisan halal pada label atau penandaan
makanan produknya bertanggung jawab terhadap halalnya makanan tersebut
bagi pemeluk agama Islam. Dengan demikian, produsen memiliki tanggung
jawab yang besar atas kehalalan produknya pada konsumen yang beragama
Islam.
Di sisi lain, kata dia, MUI pun selama
ini telah memberikan peluang bagi para produsen untuk mengajukan
sertifikasi halal. ”Pihak MUI akan melakukan pemeriksaan terhadap
bahan-bahan hingga proses produksi untuk meyakinkan bahwa produk
tersebut benar-benar berstatus halal,” katanya. Dengan begitu, umat
Islam sebagai konsumen terbesar akan merasakan keamanan dalam
mengonsumsi sebuah produk baik makanan maupun minuman.
Sumber: Republika 12 November 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar