Jumat, 07 Oktober 2011

Bahaya Su'u zhan

Zhan atau prasangka secara bahasa memiliki dua makna, yakin dan prasangka (dugaan). Zhan bermakna yakin seperti dalam firman Allah, artinya, “Yaitu orang-orang yang meyakini (يَظُنُّوْنَ), bahwa mereka akan menemui Rabb (Tuhan) mereka, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.al-Baqarah: 46)

Zhan bermakna prasangka seperti firman-Nya, artinya, “Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tidak akan menolongnya (Muhammad) di Dunia dan Akhirat…”(QS. al-Hajj: 15)

Secara istilah, zhan adalah mengetahui sesuatu, disertai kemungkinan yang kecil kalau pengetahuan dia itu salah. (Syaikh al-Utsaimin)

Zhan menurut para ulama ada tiga:

Zhan yang diharamkan, yaitu su’u zhan (prasangka buruk). Su’u zhan yaitu meyakini sisi buruk seseorang dan lebih menguatkannya dibanding sisi baiknya, dalam hal-hal yang mengandung dua kemungkinan (baik ataupun buruk).

Zhan yang diperbolehkan, yaitu seseorang yang ragu-ragu dalam jumlah raka’at shalat, maka dia boleh mengikuti zhannya (dugaannya) atau mengikuti keyakinannya. Demikian juga prasangka yang boleh adalah yang muncul di hati seorang muslim terhadap saudaranya disebabkan sesuatu yang menimbulkan kecurigaan/keraguan yang ia lakukan.

Zhan yang dianjurkan atau diperintahkan, seperti menyangka benar persaksian saksi yang adil, mengikuti zhan yang berlandaskan pada dalil dalam masalah fikih, berbaik sangka kepada Allah, dan kepada kaum muslimin yang adil dan lain-lain.

Bahaya Su’u zhan
Imam Ibnu Hajar al-Haitami memasukkan su’u zhan terhadap sesama muslim ke dalam golongan dosa besar yang tersembunyi (batin). Beliau berkata, “Dan dosa besar ini adalah salah satu dosa besar yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf (hamba) supaya dia berusaha menghilangkannya. Karena barangsiapa yang hatinya ada sebagian penyakit ini, tidak akan bertemu Allah –wal‘iyadzu Billah- dengan qalbun salim (hati yang selamat).”(az-Zawajir ‘an Iqtiraafil Kabair)

Su’u zhan meliputi su’u zhan terhadap Allah, dan terhadap kaum muslimin yang adil. Su’u zhan terhadap Allah hukumnya haram. Para ulama menyebutkan bahwa su’u zhan bertentangan dengan tauhid dan kesempurnaannya.

Syaikh Shalih al-Fauzan berkata dalam I’anatul Mustafid, “Sesungguhnya su’u zhan terhadap Allah bertolak belakang dengan tauhid atau bertentangan dengan kesempurnaannya. Ia bertolak belakang dengan pokok tauhid jika ia bertambah, banyak dan terus-menerus ada pada seseorang. Atau, ia bertolak belakang dengan kesempurnaan tauhid jika ia adalah sesuatu yang datang tiba-tiba atau sesuatu yang sedikit atau hanya terbesit dalam hati saja dan ia belum mengucapkan dengan lisannya. Adapun jika dia sudah mengucapkan dengan lisannya, maka menjadi sesuatu yang bertolak belakang dengan tauhid.”

Di antara bentuk su’u zhan kepada Allah adalah putus asa dari rahmat Allah, tidak menerima takdir, menganggap Allah tidak adil, doanya tidak akan dikabulkan, dosanya tidak diampuni, kaum Muslimin akan tetap dalam keadaan kalah dan kemenangan akan selama-lamanya berada di tangan orang-orang kafir dan lain-lain.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Sikap penakut, kikir, tamak dan seluruh watak buruk, kesemuanya adalah termasuk prasangka buruk terhadap Allah.”(Adabusy Syar’iyyah: 47)

Dan di antara bentuk su’u zhan terhadap kaum muslimin yang adil adalah menuduh mereka dengan perbuatan buruk hanya dengan berdasarkan prasangka belaka, bukan berdasarkan pengetahuan dan bukti yang jelas.

Seorang yang adil adalah yang taat kepada Allah, mengikuti perintah-perintah-Nya, dan menghindari larangan-larangan-Nya, dan tidak bermaksiat kepada Allah, tidak terjatuh ke dalam perbuatan dosa besar dan sebagian dosa kecil.

Dan bukanlah yang dimaksud dengan adil, orang yang sama sekali terlepas dari seluruh dosa, tetapi seseorang yang secara umum adalah orang yang berpegang teguh dengan agama, bersungguh-sungguh dalam ketaatan. Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Tidak ada seorang terhormat pun, atau pun orang berilmu dan tidak juga penguasa melainkan dia pasti memiliki aib. Namun sebagian manusia ada aibnya yang tidak harus disebutkan, barangsiapa kelebihannya lebih banyak dari kekurangannya, maka kekurangannya itu dianggap sebagai kelebihan.” (al-Kifayah: 79, dan al-Bidayah wan Nihayah: 9/100)

Imam al-Ghazali berkata dalam Ihya Ulumuddin (3/150), “Ketahuilah bahwa prasangka buruk (su’u zhan) adalah haram seperti halnya ucapan yang buruk. Sebagaimana haram atasmu membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain, maka tidak boleh juga membicarakannya kepada dirimu (hatimu) sendiri dan engkau berprasangka buruk terhadap saudaramu. Dan yang aku maksudkan adalah keyakinan hati terhadap orang lain dengan keburukan. Adapun apa yang terlintas dan bisikan hati maka hal itu dimaafkan, bahkan keraguan juga. Akan tetapi yang dilarang adalah menyangka, dan prasangka adalah kata lain dari sesuatu yang dijadikan sandaran yang hati condong kepadanya.

Allah berfirman, artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan prasangka, (karena) sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.”(QS. al-Hujurat:12)

Dan sebab pengharamannya adalah bahwa rahasia hati tidak ada yang mengetahui kecuali Dzat Yang Maha Tahu tentang hal yang ghaib. Tidak ada hak bagimu untuk meyakini keburukan orang lain, kecuali jika nampak jelas dengan mata, yang tidak menerima takwil (tafsiran), maka saat itu tidak ada hal lain bagimu selain meyakini apa yang engkau ketahui dan engkau lihat. Dan apa-apa yang tidak engkau lihat dengan mata, dan tidak engkau dengar dengan telinga, tetapi muncul dalam benakmu, maka sesungguhnya setanlah yang telah melontarkan prasangka itu kepada- mu, engkau harus mendustakannya, karena sesunggguhnya setan adalah makhluk yang paling fasik. Allah telah berfirman, artinya, “Wahai orang yang beriman, jika orang fasik membawa berita kepadamu maka periksalah.” (QS. al-Hujurat: 6)
Su’u zhan terhadap sesama muslim, juga termasuk salah satu dosa besar. Hal itu dikarenakan ia akan dipengaruhi oleh setan untuk meremehkan seseorang, tidak menunaikan hak-haknya, kurang memuliakannya, dan mengumbar lisan, melecehkan kehormatannya. Dan semua ini adalah hal-hal yang membinasakan.

Dan setiap orang yang berprasangka buruk kepada orang lain, menunjukkan aib orang lain, maka ketahuilah bahwa hal itu disebabkan buruknya batin dan watak. Karena seseorang yang beriman mencari udzur-udzur (alasan-alasan positif kenapa orang lain itu melakukan perbuatan tersebut) dan karena selamatnya hati mereka, sedangkan orang munafik, mencari-cari aib seseorang karena buruknya batin mereka.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Tidak boleh engkau berprasangka buruk kepada saudaramu sesama muslim, kecuali jika terlihat sesuatu yang tidak mungkin lagi untuk ditakwil (dicari-cari alasannya). Jika seseorang yang adil mengabarkan kepadamu tentang hal itu, lalu hatimu condong untuk membenarkan maka engkau tidak bersalah. Karena jika engkau mendustakan, berarti engkau telah berburuk sangka terhadap orang yang mengabarkannya. Tidak pantas engkau berbaik sangka terhadap seseorang dan berburuk sangka terhadap orang lain, akan tetapi hendaknya engkau mencari tahu, apakah di antara keduanya ada permusuhan atau kedengkian. ”(Mukhtashor Minhajil Qashidin: 172)

Obat Buruk Sangka
Untuk mengobatinya Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Setiap kali terbesit dalam hatimu sesuatu yang buruk terhadap sesama muslim, maka hendaknya engkau menambah perhatianmu kepadanya, dan doakan dia dengan kebaikan. Sungguh hal itu mengurangi pengaruh setan dan mengusirnya darimu. Dan jika terbukti kekeliruan (ketergelinciran) seorang muslim, maka nasihatilah dia dengan rahasia (empat mata). Dan ketahuilah sesungguhnya salah satu buah dari buruk sangka adalah sikap memata-matai, yang dapat merusak tirai penutup kaum muslimin.” [Disadur dari berbagai sumber oleh Sujono]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar