Sebuah kata yang tak asing di telinga kita, sebuah adat dan kebiasaan
yang baik dan mendatangkan pahala bagi pelakunya, sebuah kebiasaan
selalu kita lakukan setiap ada waktu dan kesempatan, itulah SILATURAHIM.
Silaturahim secara makna adalah menyambung hubungan baik kepada orang
terdekat yang masih ada hubungan darah dengan kita, seperti orangtua,
kakak, adik, famili dari pihak ayah dan ibu, kerabat ipar dari pihak
istri atau suami. Silaturahim merupakan bentuk berbuat baik kepada
kerabat dekat yang masih ada pertalian nasab atau ipar, dan berlemah
lembut terhadap mereka, berkasih sayang dan menjaga mereka. Allah telah
memerintahkan hal tersebut di dalam al-Qur’an, artinya, “Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim,
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. an-Nisa: 1)
Nabi juga telah menganjurkan untuk menyambung tali silaturahim, sebagaimana sabda beliau , “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir (kiamat), maka hendaklah dia menyambung tali silaturahim.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Keutamaan Menyambung Silaturahim
Banyak sekali cara untuk menyambung silaturahim, misalnya dengan saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, berkirim surat, dan segala hal yang telah dikenal manusia dalam menyambung tali silaturahim. Apalagi pada saat sekarang, yakni teknologi telah berkembang dengan pesat, bagitu banyak sarana yang dapat digunakan dalam bersilaturahim, baik via telepon, sms, email, dll. Silaturahim juga merupakan salah satu bentuk sarana untuk masuk ke dalam surga Allah.
Telah disebutkan dalam hadits yang shahih, dari Abu Ayyub al-Anshari, “Bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka,” maka Nabi bersabda, “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itu pun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi bersabda, “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahim.” Setelah orang itu pergi Nabi bersabda, “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, maka pastilah dia masuk ke dalam Surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Silaturahim juga merupakan faktor penyebab banyak rizki dan umur panjang, dalam sunnah beliau bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya (oleh Allah), dan dipanjangkan umurnya (oleh-Nya), maka hendaklah dia menyambung tali silaturahim.” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini seakan-akan kontradiktif dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 34, artinya, “Maka apabila telah datang ajal, mereka tidak dapat mengakhirkannya, tidak pula dapat memajukannya.”
Sebenarnya, tidak ada kontradiksi antara hadits dan ayat di atas, dan bahwa bertambahnya umur seseorang, merupakan kiasan dari berkah umur yang dia jalani selama hidup untuk selalu dalam ketaatan kepada Allah. Dan menggunakan waktu dengan berbagai hal yang dapat mendatangkan manfaat baginya di kehidupan akhirat kelak. Dan menjaga umur supaya tidak hilang sia-sia dengan hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Pada intinya adalah, silaturahim itu merupakan sebab datangnya petunjuk untuk selalu melakukan ketaatan kepada Allah semata, juga merupakan benteng dari perbuatan maksiat; setelah itu datang penyebutan yang indah bagi orang yang mau menyambung silaturahim, seakan-akan dia masih dalam keadaan hidup, seperti halnya orang yang mempunyai ilmu yang bermanfaat dan mengajarkannya pada orang lain, atau orang yang mengeluarkan hartanya untuk shadaqah jariyah, namanya akan selalu dikenang dan disebut oleh banyak orang, walaupun ia telah tiada, seakan-akan masih hidup dan berada di sekitar mereka.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Pada hakikatnya, yang dimaksud dengan kehidupan adalah hidupnya hati. Seberapa lama hati itu hidup maka sepanjang itulah umur manusia. Ia tidak lain kecuali waktu-waktu yang digunakan untuk mengingat Allah. Pada saat itulah, takwa dan kebaikan bertambah. Inilah hakikat umur, yang tiada lagi umur selainnya.”
Secara umum, dapat ditarik kesimpulan, bahwa jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan berbagai kemaksiatan, maka sirnalah kehidupan hakikinya yang kelak dia temui. Pelakunya akan merasakan akibat kemaksiatan tersebut pada hari ketika ia mengungkapkan penyesalannya, artinya, “…Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” (QS. al-Fajr: 24)
Nabi juga bersabda, “Ar-rahim itu tergantung di ‘Arsy. Ia berkata:” Barangsiapa menyambungku, maka Allah akan menyambungnya, Dan barangsiapa yang memutusku maka Allah akan memutusnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah juga bersabda, tentang betapa besar ganjaran dari bersilaturahim, dan pahalanya lebih besar dari pahala memerdekakan seorang budak. Dalam sebuah hadits shahih dari Ummul mukminin Maimunah, dia berkata, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan seorang budakku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab: “Iya”. Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak tersebut kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya bagimu.” (HR. al-Bukhari)
Tapi sangat disayangkan, banyak sekali di antara kaum muslimin yang tidak mau menyambung silaturahim kecuali apabila ada kerabat yang menyambungnya terlebih dahulu, yang demikian itu bukanlah silaturahim, akan tetapi hanya membalas kebaikan semata, karena orang yang berakal pasti ingin membalas kebaikan orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Orang yang menyambung silaturahim itu bukanlah orang yang menyambung hubungan yang telah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim itu adalah orang yang menyambung hubungan yang telah terputus.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Oleh karena itu, mari kita sambung kembali jalinan persaudaraan yang telah putus dengan silaturahim, semoga kita mendapatkan balasan yang besar dari sisi Allah.
Ancaman Orang Yang Memutus Silaturahim
Allah mengancam bagi siapa saja yang memutus jalinan silaturahim dengan keluarga, maupun kerabat, seperti firman-Nya, artinya, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan silaturahim (kekeluargaan)? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, dan ditulikan pendengaran mereka, dan dibutakan pengelihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)
Diriwayatkan pula, bahwa Rasulullah mengancam orang yang memutus silaturahim, dengan sabdanya, “Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang suka memutus (tali silaturahim)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Renungkanlah ancaman beliau terhadap orang yang memutus silaturahim, kelak dia diharamkan masuk ke dalam surga Allah!. Lalu kemanakah tempat kembalinya pada Hari Pembalasan?Wal ‘iyadzubillah.
Terlebih lagi apabila yang dia putus ialah hubungan silaturahim dengan orang yang paling dekat dengannya, yaitu kedua orangtuanya, ayah ibu yang telah merawat dan mendidiknya sedari kecil, dan hal tersebut masuk ke dalam dosa ‘uququl walidain, dosa yang paling besar, dari dosa-dosa besar, sebagaimana sabda Rasulullah, “Tidakkah kalian mau aku beritahukan dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, maka para sahabat pun menjawab, “Mau wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orangtua.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Demikianlah sekilas keutamaan menyambung tali silaturahim, dan ancaman terhadap orang yang memutusnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah dari memutus tali silaturahim. Semoga kita datang pada hari pembalasan dengan membawa pahala silaturahim.
Wallahu A’lam. (Rifki Solehan)
Sumber:
Subulussalam Syarh Bulughul Maram, Muhammad Bin Isma’il ash-Shan’ani.
Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Al-Kabaa’ir, Imam adz-Dzahabi.
Nabi juga telah menganjurkan untuk menyambung tali silaturahim, sebagaimana sabda beliau , “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir (kiamat), maka hendaklah dia menyambung tali silaturahim.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Keutamaan Menyambung Silaturahim
Banyak sekali cara untuk menyambung silaturahim, misalnya dengan saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, berkirim surat, dan segala hal yang telah dikenal manusia dalam menyambung tali silaturahim. Apalagi pada saat sekarang, yakni teknologi telah berkembang dengan pesat, bagitu banyak sarana yang dapat digunakan dalam bersilaturahim, baik via telepon, sms, email, dll. Silaturahim juga merupakan salah satu bentuk sarana untuk masuk ke dalam surga Allah.
Telah disebutkan dalam hadits yang shahih, dari Abu Ayyub al-Anshari, “Bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang dapat memasukkan aku ke dalam Surga dan menjauhkan aku dari Neraka,” maka Nabi bersabda, “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itu pun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi bersabda, “Engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahim.” Setelah orang itu pergi Nabi bersabda, “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, maka pastilah dia masuk ke dalam Surga.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Silaturahim juga merupakan faktor penyebab banyak rizki dan umur panjang, dalam sunnah beliau bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya (oleh Allah), dan dipanjangkan umurnya (oleh-Nya), maka hendaklah dia menyambung tali silaturahim.” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini seakan-akan kontradiktif dengan firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 34, artinya, “Maka apabila telah datang ajal, mereka tidak dapat mengakhirkannya, tidak pula dapat memajukannya.”
Sebenarnya, tidak ada kontradiksi antara hadits dan ayat di atas, dan bahwa bertambahnya umur seseorang, merupakan kiasan dari berkah umur yang dia jalani selama hidup untuk selalu dalam ketaatan kepada Allah. Dan menggunakan waktu dengan berbagai hal yang dapat mendatangkan manfaat baginya di kehidupan akhirat kelak. Dan menjaga umur supaya tidak hilang sia-sia dengan hal-hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Pada intinya adalah, silaturahim itu merupakan sebab datangnya petunjuk untuk selalu melakukan ketaatan kepada Allah semata, juga merupakan benteng dari perbuatan maksiat; setelah itu datang penyebutan yang indah bagi orang yang mau menyambung silaturahim, seakan-akan dia masih dalam keadaan hidup, seperti halnya orang yang mempunyai ilmu yang bermanfaat dan mengajarkannya pada orang lain, atau orang yang mengeluarkan hartanya untuk shadaqah jariyah, namanya akan selalu dikenang dan disebut oleh banyak orang, walaupun ia telah tiada, seakan-akan masih hidup dan berada di sekitar mereka.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Pada hakikatnya, yang dimaksud dengan kehidupan adalah hidupnya hati. Seberapa lama hati itu hidup maka sepanjang itulah umur manusia. Ia tidak lain kecuali waktu-waktu yang digunakan untuk mengingat Allah. Pada saat itulah, takwa dan kebaikan bertambah. Inilah hakikat umur, yang tiada lagi umur selainnya.”
Secara umum, dapat ditarik kesimpulan, bahwa jika seorang hamba berpaling dari Allah dan sibuk dengan berbagai kemaksiatan, maka sirnalah kehidupan hakikinya yang kelak dia temui. Pelakunya akan merasakan akibat kemaksiatan tersebut pada hari ketika ia mengungkapkan penyesalannya, artinya, “…Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini.” (QS. al-Fajr: 24)
Nabi juga bersabda, “Ar-rahim itu tergantung di ‘Arsy. Ia berkata:” Barangsiapa menyambungku, maka Allah akan menyambungnya, Dan barangsiapa yang memutusku maka Allah akan memutusnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah juga bersabda, tentang betapa besar ganjaran dari bersilaturahim, dan pahalanya lebih besar dari pahala memerdekakan seorang budak. Dalam sebuah hadits shahih dari Ummul mukminin Maimunah, dia berkata, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan seorang budakku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab: “Iya”. Nabi bersabda, “Seandainya engkau berikan budak tersebut kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya bagimu.” (HR. al-Bukhari)
Tapi sangat disayangkan, banyak sekali di antara kaum muslimin yang tidak mau menyambung silaturahim kecuali apabila ada kerabat yang menyambungnya terlebih dahulu, yang demikian itu bukanlah silaturahim, akan tetapi hanya membalas kebaikan semata, karena orang yang berakal pasti ingin membalas kebaikan orang lain. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Orang yang menyambung silaturahim itu bukanlah orang yang menyambung hubungan yang telah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahim itu adalah orang yang menyambung hubungan yang telah terputus.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Oleh karena itu, mari kita sambung kembali jalinan persaudaraan yang telah putus dengan silaturahim, semoga kita mendapatkan balasan yang besar dari sisi Allah.
Ancaman Orang Yang Memutus Silaturahim
Allah mengancam bagi siapa saja yang memutus jalinan silaturahim dengan keluarga, maupun kerabat, seperti firman-Nya, artinya, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan silaturahim (kekeluargaan)? Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah, dan ditulikan pendengaran mereka, dan dibutakan pengelihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23)
Diriwayatkan pula, bahwa Rasulullah mengancam orang yang memutus silaturahim, dengan sabdanya, “Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang suka memutus (tali silaturahim)” (Muttafaqun ‘alaihi)
Renungkanlah ancaman beliau terhadap orang yang memutus silaturahim, kelak dia diharamkan masuk ke dalam surga Allah!. Lalu kemanakah tempat kembalinya pada Hari Pembalasan?Wal ‘iyadzubillah.
Terlebih lagi apabila yang dia putus ialah hubungan silaturahim dengan orang yang paling dekat dengannya, yaitu kedua orangtuanya, ayah ibu yang telah merawat dan mendidiknya sedari kecil, dan hal tersebut masuk ke dalam dosa ‘uququl walidain, dosa yang paling besar, dari dosa-dosa besar, sebagaimana sabda Rasulullah, “Tidakkah kalian mau aku beritahukan dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali, maka para sahabat pun menjawab, “Mau wahai Rasulullah”. Beliau bersabda, “Menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orangtua.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Demikianlah sekilas keutamaan menyambung tali silaturahim, dan ancaman terhadap orang yang memutusnya. Oleh karena itu, berhati-hatilah dari memutus tali silaturahim. Semoga kita datang pada hari pembalasan dengan membawa pahala silaturahim.
Wallahu A’lam. (Rifki Solehan)
Sumber:
Subulussalam Syarh Bulughul Maram, Muhammad Bin Isma’il ash-Shan’ani.
Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
Al-Kabaa’ir, Imam adz-Dzahabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar