Sabtu, 01 Oktober 2011

Metode Menghafal Al-Quran untuk Mahasiswa

 
Sesuatu yang paling layak untuk dihafal adalah Al-Quran, ia merupakan firman Allah, pedoman hidup umat Islam, sumber dari segala sumber hukum, dan bacaan yang paling sering diulang-ulang oleh umat muslim. Mahasiswa sebagai calon intelektual muslim hendaknya meletakkan hafalan Al-Quran sebagai prioritas kegiatannya. 
Inilah intisari dari pemikiran Imam Yahya bun Syaraf An-Nawawi dalam kitab “Al-Majmu”:
“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. Kalau sudah hafal Al Quran, berhati-hatilah dalam menyibukkan diri mempelajari hadis dan fiqh atau pelajaran lainnya, yakni kesibukan yang bisa menyebabkan hilangnya sebagian hafalan Al Quran atau beerpotensi lupa. “ Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Faktanya tidak semua orang yang memiliki niat untuk menghafalkan al-Quran mampu merealisasikan niatnya, juga tidak semua orang yang menghafal bisa tuntas sampai 30 juz, dan tidak semua orang yang hafal 30 juz mampu membaca “bil ghaib” dengan lancar dan baik. Demikian juga, tidak semua hafidz diberikan karunia untuk menjadikan hafalannya sebagai dzikir yang selalu dilantunkannya secara istiqamah sampai akhir hayatnya. Untuk itul, perlu kiranya seorang mahasiswa melakukan pengaturan (manajemen) secara sistematis, agar target yang direncanakan bisa tercapai.
A. Manajemen niat
Bagi mereka yang pernah menghafal, baik hingga selesai maupun berhenti di tengah perjalanan, pasti mempunyai motivasi-motivasi tertentu, atau paling tidak, ada mitos-mitos yang menggerakkan hati dan pikiran untuk menghafal. Adakalanya mereka termotivasi oleh adanya pemuliaan, penghormatan dari masyarakat, kemudian tergerak hatinya untuk meraih ‘prestise’ tersebut. Atau juga karena tergiur dengan predikat sebagai calon penghuni surga yang kelak bila meninggal jasadnya akan tetap utuh. Bisa juga termotivasi oleh hidup “glamour”nya para hafidz yang sering mendapatkan job “khataman” serta pulang dengan membawa berkat dan amplop tebal.
Patut disyukuri memang, gara-gara motivasi dan mitos di atas, banyak dari mereka yang akhirnya bisa hafal al-Quran dengan baik. Hanya saja, secara normatif-etis mitos-mitos itu jelas tidak bisa dibenarkan secara aqidah sebab lebih mendahulukan li ajlin naas-nya daripada li ajlillaah. Ini berbahaya, al-Quran yang semestinya sebagai al-huda, al-furqan, adz-dzikr telah dimanipulasi menjadi sumber penghasilan (ma’isyah), atau sebagai wahana unjuk kehebatan dan kesalehan. Biarlah, yang sudah terjadi biarlah berlalu, selanjutnya ditata kembali  dengan niat yang lebih ikhlas.
Sebenarnya yang paling esensi dari al-Quran adalah pesan yang dikandungnya. Ibarat secarik kertas yang berisi route perjalanan bagi seorang musafir. Kalau kertas tersebut hanya dibaca keras dan tidak berusaha difahami isinya, sangat mungkin orang itu akan tersesat. Demikian halnya seorang muslim yang hanya menjadikan al-Quran sebagai mantra, jimat, ornamen, dan tidak memposisikannya sebagai pesan ilahi, oleh Allah ia laksana keledai yang dipundaknya dipenuhi buku-buku, kamatsalil himar yahmilu ashfara.
Konsekuensi dari motivasi yang salah tersebut, sering seorang hafidz itu menonjolkan performance inklusif agar dimuliakan orang lain atau dia enggan bekerja ‘kasar’ sebagaimana orang kebanyakan, khawatir akan menurunkan kredibilitas kehafidzannya. Lebih-lebih lagi, na’udzubillah, ada hafidz yang mempromosikan diri supaya diundang khataman, sambil melakukannya dengan bacaan hadr (super cepat) dan membayangkan berapa honor yang akan diterimanya. Bisa jadi, akhirnya dia pulang menggerutu,  bila ternyata bisyarah yang diterimanya lebih kecil dari yang terbayang. Tidak sedikit pula, hafidz yang ‘malas’ memahami isi kandungan al-Quran, bahkan isi surat-surat pendek pun tidak tahu artinya, meski sudah hafal puluhan tahun.
Hendaknya yang dijadikan target utama dari menghafal adalah kemamampuan memahami al-Quran. Kompetensi hafalan merupakan wasilah (media) efektif untuk lebih memahami al-Quran secara holistik (menyeluruh). Tidak sebaliknya, sesuatu yang semestinya sebagai media dijadikan tujuan (ghayah).
Lalu mengapa al-Quran itu dihafal? Untuk meluruskan penyelewengan motivasi di atas, berikut ini disajikan motivasi-motivasi (bukan mitos) menghafal, berdasarkan al-Quran dan Sunnah Nabi disertai argumentasi rasional yang logis.
1. Al-Qur’an sebagai pemberi syafa’at pada hari kiamat bagi yang membaca, memahami dan mengamalkannya.
Bacalah al-Quran karena kelak ia akan menjadi penolong bagi pembacanya
2. Al-Qur’an menjadi hujjah (pembela) bagi pembacanya dan sebagai pelindung dari azab dunia dan akherat.
Dan al-Quran merupakan hujjah atau pembelamu kelak
3. Pembaca al-Qur’an, khususnya penghafal al-Quran yang kualitas dan kuantitas bacaannya lebih tinggi, akan bersama malaikat dan selalu melindunginya dan mengajak pada kebaikan.
Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Quran dan menjaganya, akan ditemani para malaikat yang mulia dan baik
4. Penghafal al-Qur’an akan mendapatkan fasilitas khusus dari Allah, yaitu terkabulkannya segala harapan tanpa harus memohon/berdoa.
Allah berfirman (dalam Hadis Qudsi: Barang siapa yang disibukkan oleh al-Quran dan mengingat Allah sehingga lupa memohon, maka aku akan memberinya sesuatu yang terbaik
5. Penghafal al-Qur’an yang membiasakan mujawwad atau murattal akan ditinggikan derajatnya di sisi Allah dan menempati posisi tertinggi di surga nanti.
Dikatakan pada pembaca al-Quran, bacalah, naiklah dan tartilkanlah bacaanmu sebagaimana engakau mentartilkan di dunia, karena kedudukanmu di surga sesuai dengan ayat terakhir yang engkau baca
6. Penghafal al-Qur’an berhak untuk diprioritaskan menjadi imam atau pemimpin, bahkan sampai ia mati kelak.
Yang berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling baik bacaannya (banyak hafalannya) (HR. Muslim), Rasulullah pernah mengumpulkan dua korban perang Uhud dalam satu kain kafan, lalu berkata: siapa dari keduanya yang paling banyak hafalannya? Setelah ditunjukkan, beliau mendahulukannya untuk dimasukkan di liang lahat (HR Bukhari).
7. Penghafal al-Qur’an paling layak untuk menjadi teladan atau idola.
Tidaklah hasud dibolehkan kecuali pada dua orang; (1) orang yang dikarunia kemampuan al-Quran dan membacanya sambil qiyamul lail dan (2) orang yang dikarunia harta lalu dia bersedekahsiang dan malam (HR. Bukhari), Diantara wujud pengagungan pada Allah adalah memuliakan orang tua muslim dan penghafal al-Quran yang tidak melampaui batas serta memuliakan raja yang adil (HR. Abu Dawud)
8. Penghafal al-Qur’an, berpotensi untuk mendapatkan pahala yang banyak.
Barang siapa membaca satu huruf dari al-Quran maka dia mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan bernilai 10 kebaikan, seperti alim lam mim masing-masing bernilai 10 kebaikan.
9.  Penghafal al-Qur’an bisa membaca dan memahami al-Qur’an di manapun dan dalam situasi apapun, dia tidak selalu tergantung dengan mushaf, tempat, waktu, dan posisi tertentu, sehingga di kantor, di kendaraan, di pasar, bahkan sambil tiduran pun ia bisa membaca dan memahami al-Quran. Juga aktivitas otak yang tidak terganggu oleh konsentrasi melihat (mushaf), semakin mudah melakukan tadabburdengan al-Quran.
10. Penghafal al-Qur’an punya daya nalar argumentatif yang komprehensif dan mendalam. Sebagai al-huda (petunjuk), al-Qur’an sarat dengan nilai-nilai moral, kebenaran ilmiah, inspirasi untuk berkreasi, terutama dalil-dalil hukum Islam.  Dengan demikian, dia sangat lihai mengulas maksud dari sebuah ayat, dan mensintesiskan ayat dengan teori serta mengelaborasikan korelasi antar ayat.
11. Menghafalkan al-Qur’an hukumnya wajib kifayah, menurut Imam Zarkasyi, Assuyuthi dll, sebab ia bisa menjaga Al-Quran dari kesalahan bacaan dan penulisan,  sehingga orisinalitas Al-Quran tetap terjaga dari berbagai upaya tahrif (pemalsuan, perubahan). Jadi, keberadaan penghafal al-Quran adalah sebagai penggugur kewajiban dan dosa umat muslim di kawasan tertentu.
12. Penghafal al-Qur’an menghabiskan sebagian besar waktunya (umurnya) untuk mempelajari dan mengajarkan sesuatu yang bermanfaat dan bernilai ibadah, hal itu menjadikan hidupnya penuh keberkahan dan Allah memposisikannya sebagai manusia terbaik.
Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan al-Quran
13. Penghafal al-Qur’an dijaga dari godaan nafsu, sebab kesibukan dzikir pada Allah (termasuk baca al-Quran) akan menghalangi syetan untuk menguasai nafsunya.
Barang siapa lalai dari ingat Allah, akan kami kuasakan atasnya syaitan yang menemaninya
14. Penghafal al-Qur’an termasuk dalam tujuh golongan yang diberi naungan Allah ketika tidak ada lagi tempat bernaung di akherat dari dahsyatnya panas neraka.
Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah, (diantaranya) pemuda yang tumbuh besar dalam suasana ibadah pada Allah dan seorang laki-laki yang hatinya selalu bergantung pada masjid.
15. Penghafal al-Qur’an adalah manusia pilihan Allah yang akan dititipi ilmu di dadanya.
Bahkan al-Quran merupakan kemukjizatan yang nyata yang dititipkan Allah di dada orang yang berilmu
16. Membaca al-Qur’an merupakan obat stress, depresi dan lain-lain.
Barang siapa yang berpaling dari mengingat aku, maka kehidupannya akan sempit dan kami kumpulkan di hari kiamat dalam keadaan buta
Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah, ingatlah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tenang
17. Penghafal al-Qur’an selalu berlatih untuk kerja keras dan disiplin. Menghafal al-Quran butuh kerja keras, disiplin, istiqamah selama satu tahun lebih, kebiasaan disiplin dan konsisten ini menjadi modal penting dalam menggapai kesuksesan hidup.
18. Al-Qur’an mudah dihafal oleh orang tua, muda, anak-anak dan  oleh orang yang tidak faham bahasa Arab sekalipun.
Dan sungguh kami mudahkan al-Quran untuk diingat adakah orang yang mau mengingat?
Jadi, pertama kali yang harus diperhatikan oleh orang yang ingin menghafal Al-Quran adalah mengikhlaskan niatnya hanya untuk Allah semata. Dengan niat ikhlas, Allah akan membantu menjauhkan kita dari rasa malas dan bosan. Suatu pekerjaan yang diniatkan ikhlas, biasanya akan terus berlangsung. Berbeda kalau niatnya hanya untuk mengejar materi atau hanya ingin ikut musabaqah, atau karena hal lain. Hendaknya ia melakukan shalat Hajat dengan memohon kepada Allah agar dimudahkan dalam menghafal Al-Quran. Waktu shalat hajat ini tidak ditentukan dan doa’anya pun diserahkan kepada masing-masing pribadi. 
Hal ini sebagaimana diriwayat Hudzaifah ra, yang berkata :
“ Bahwasanya Rasulullah saw jika ditimpa suatu masalah beliau langsung mengerjakan shalat. “
Memperbanyak do’a untuk menghafal Al-Quran. Do’a ini memang tidak terdapat dalam hadis, akan tetapi seorang muslim boleh berdo’a menurut kemampuan dan bahasanya masing-masing. Mungkin anda berdo’a seperti ini :
“ Ya Allah berikanlah kepadaku taufik untuk menghafal Al-Quran, dan berilah aku kekuatan untuk terus membacanya siang dan malam sesuai dengan ridha dan tuntunan-Mu, wahai Yang Maha Pengasih “.
B. Manajemen waktu
Pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal, dan ini tergantung kepada peribadi masing-masing. Akan tetapi dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“ Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia akan sampai, makanya amalkan agama ini dengan benar, perlahan-lahan, dan berilah kabar gembira, serta gunakan waktu pagi, siang dan malam (untuk mengerjakannya) “ ( HR Bukhari )
Umumnya, orang yang menghafalkan al-Quran di pesantren-pesantren menghabiskan waktu  3-4 tahun dengan program takhashshus (tahfidz intensif/sebagian besar waktunya untuk menghafal). Sebenarnya, kalau seseorang mampu mengatur waktu dengan baik, pasti akan jauh lebih cepat dari waktu tersebut. Misalnya, dalam sehari dia menambah hafalan dua halaman, maka dalam kurun waktu sepuluh bulan (atau max. 12 bulan) sudah tuntas 30 juz. Atau paling tidak setengah halaman perhari, maka dalam waktu 40 bulan (3 tahun 4 bulan atau max. 4 tahun). Tentu, dengan syarat setiap waktu terbuang harus diganti atau dirangkap tanpa kompromi.
Untuk konteks mahasiswa, pengaturan waktu memang lebih rumit dibanding dengan peserta program takhashshus di pesantren. Mahasiswa memiliki beban ganda yang berat. Terkait dengan perkuliahan, dia harus mempersiapkan matakuliah setiap hari (min. 1 jam), mengikuti perkuliahan (rata-rata 4 jam sehari selama 5 hari), mempersiapkan ujian UTS, UAS, kuis (min. 2 jam), menyelesaikan tugas membuat makalah individu atau kelompok (min. 5 jam). Berikut ini gambaran perbandingan kegiatan harian antara mahasiswa tahfidz dan mahasiswa bukan tahfidz:
Tabel 1: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa non Tahfidz dalam 24 Jam
Kegiatan Alokasi waktu Prosentase
Persiapan materi kuliah, ujian dsb 2 jam 8,3 %
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb 4 jam 16, 6 %
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb 1 jam 4,1 %
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb 2 jam 8,3 %
Istirahat, sholat, makan dsb 3 jam 12,5 %
Tidur 8 jam 33 %
Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb 2 jam 8,3 %
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb 2 jam 8,3 %
Total 24 jam 100 %
Tabel di atas menunjukkan relatif longgarnya waktu mahasiswa untuk belajar, ibadah, santai dan istirahat. Dengan alokasi seperti ini saja mahasiswa yang komitmen dan konsisten melakukan kegiatan ilmiah dan diniyah, pasti akan mencapai kesuksesan.
Adapun mereka yang mengambil program tahfidz penuh (30 juz), minimal harus menyisihkan waktunya min. 9 jam perhari dengan perincian sebagai berikut:
Tabel 2: Durasi Ideal Waktu Mahasiswa Tahfidz
Kegiatan Durasi
Penambahan hafalan baru 1 hal 1 jam
Pengulangan hafalan baru 1/2 juz 1 jam
Setoran hafalan 2 jam
Pengulangan harian 3 juz 2 jam
Latihan fashohah, terjemah, tafsir 1 jam
Total 9 jam
Setelah waktu untuk tahfidz ditambahkan dalam kegiatan harian, maka komposisi waktu kegiatan menjadi seperti berikut:
Tabel 3: Alokasi Ideal Waktu Mahasiswa Yang Mengikuti Tahfidz
Kegiatan Alokasi waktu Prosentase
Persiapan materi kuliah, ujian dsb 1 jam (2-1 jam) 4,1 %
Mengikuti perkuliahan, seminar dsb 2 jam (4-2 jam) 8,3 %
Menyelesaikan tugas, membuat artikel dsb 1 jam 4,1 %
Organisasi, silaturrahmi, pertemuan dsb 1 jam (2-1 jam) 4,1 %
Istirahat, sholat, makan dsb 2 jam (3-1 jam) 8,3 %
Tidur 5 jam (8-3 jam) 20,8 %
Bersih-bersih baju, kamar, kerja bakti dsb 2 jam 8,3 %
Hiburan, belanja, jalan-jalan dsb 1 jam (2-1 jam) 4,1 %
Tahfidz 9 jam 37,5 %
Total 24 jam 100 %
Dari tabel di atas, secara jelas diketahui bahwa mahasiswa yang akan menghafalkan al-Quran penuh (30 juz) harus siap melakukan riyadlah (latihan lahir batin) dan mujahadah (sungguh-sungguh) yang mungkin sangat melelahkan. Tidur yang biasanya memakan waktu 8 jam dalam sehari semalam, harus dikurangi menjadi 5 jam. Demikian juga semua kegiatan yang sifatnya rekreatif, penyaluran hobbi semaksimal mungkin dikurangi, apalagi sekadar ngrumpi, ngobrol, cuci mata dan sebagainya, mutlak harus ditinggalkan. Ibnu Athaillah (dalam kitab “Al-Hikam”) mengingatkan pada para pencari kemuliaan:
” Bagaimana mungkin ada akan mendapatkan hal yang luar biasa bila anda tidak keluar dari kebiasaan
Apabila seorang mahasiswa memiliki tekad kuat untuk menghafal penuh, maka sebaiknya disusun target secara sistematis sebagaimana contoh di bawah ini:
Contoh target program hafalan 30 juz (dari nol) selama 4 tahun kuliah

Bulan ke
1-2 3-4 5-6 7-8 9-10 11-12
Tahun pertama(semester 1-2) Fashahah1-10 Fashahah11-20 Fashahah21-30 Tahfidz Juz 1 Tahfidz Juz 2 Tahfidz Juz 3
Tahun kedua(semester 3-4) Tahfidz Juz 4-5 Tahfidz Juz 6-7 Tahfidz Juz 8-9 Tahfidz Juz 10-11 Tahfidz Juz 12-13 Tahfidz Juz 14-15
Tahun ketiga(semester 5-6) Tahfidz Juz 16-17 Tahfidz Juz 18-19 Tahfidz Juz 20-21 Tahfidz Juz 22-23 Tahfidz Juz 24-25 Tahfidz Juz 26-27
Tahun keempat(semester 7-8) Tahfidz Juz 28 Tahfidz Juz 29 Tahfidz Juz 30 Murajaah 1-10 Murajaah11-20 Murajaah 21-30
Pada tahun pertama (semester 1 dan 2) biasanya mahasiswa mendapat beban matakuliah yang banyak (sekitar 24 sks), belum lagi program intensif bahasa dan matrikulasi yang padat, sehingga dirancang enam bulan pertama (semester 1) mahasiswa hanya latihan fashahah, tajwid, dan tanda waqaf saja, mulai juz awal sampai khatam, kemudian pada semester kedua mulai menghafal sedikit demi sedikit, yakni dalam setiap dua bulan ditargetkan satu juz saja.
Pada tahun kedua ditargetkan satu bulan satu juz, berarti minimal perhari harus tambah hafalan satu halaman sehingga dalam waktu 20 hari (dengan asumsi satu juz ada 20 halaman untuk al-Quran pojok mushaf Madinah atau terbitan menara kudus), sudah genap satu juz dan sisanya dipakai untuk melancarkan.
Setelah mahasiswa memasuki semester 7-8, biasanya mereka sangat disibukkan oleh program KKN, PPL, penulisan skripsi. Untuk itu target hafalan dikurangi dari dua menjadi satu juz perdua-bulan. Pada enam bulan terakhir pada tahun keempat, terdapat sisa waktu yang cukup untuk menyelesaikan target atau kalau sudah selesai, mereka harus banyak melakukan murajaah dengan harapan dalam setiap dua bulan (dari 6 bulan terakhir) mampu melancarkan minimal sepuluh juz yang telah dihafal. Bisa saja, melakukan pentashihan ke beberapa guru al-Quran di beberapa pondok pesantren.
Adapun  waktu yang sangat tepat untuk melakukan murajaah (pengulangan) hafalan adalah waktu ketika sedang mengerjakan shalat–shalat sunnah, baik di masjid maupun di kamar ma’had/kos. Hal ini dikarenakan saat shalat seseorang fokus menghadap Allah, dan fokus inilah yang membantu kita dalam mengulangi hafalan. Berbeda ketika di luar shalat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang matanya melihat kanan atau kiri, atau akan melihat obyek yang dianggap menarik, atau bahkan temannya akan menghampirinya dan mengajaknya ngobrol. Berbeda dengan orang yang sedang shalat, temannya yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus menunggu hingga shalatnya usai dan tidak berani mendekat.
C. Manajemen strategi/metode
Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al-Quran, Masing-masing orang akan mengambil metode yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Di sini akan disebutkan dua metode yang sering dipakai oleh sebagian penghafal, dan terbukti sangat efektif, yaitu:
Metode Pertama: Menghafal satu persatu halaman (menggunakan Mushaf Madinah atau menara Kudus). Kita membaca satu halaman yang akan kita hafal sebanyak tiga atau lima kali secara benar, setelah itu kita baru mulai menghafalnya. Setelah hafal satu halaman, baru kita pindah kepada halaman berikutnya dengan cara yang sama. Dan jangan sampai pindah ke halaman berikutnya kecuali telah mengulangi halaman-halaman yang sudah kita hafal sebelumnya.
Metode Kedua : Menghafal per- ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begitu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama.
Sebelum mulai menghafal, hendaknya kita memperbaiki bacaan Al-Quran agar sesuai dengan tajwid. 
Perbaikan bacaan meliputi beberapa hal, diantaranya :
a) Memperbaiki Makhraj Huruf.
b) Memperbaiki Harakat Huruf .
Untuk menunjang agar bacaan baik, hendaknya hafalan yang ada, kita melakukantasmi’ (memperdengarkan) kepada seorang ustadz Al-Quran, agar beliaau membenarkan bacaan kita yang salah. Kalau itu tidak dilakukan, maka mungkin kesalahan yang timbul akan terus terbawa dalam hafalan kita tanpa disadari.
Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan seluruh panca indera yang kita miliki. Maksudnya kita menghafal bukan hanya dengan mata saja, akan tetapi dengan membacanya dengan mulut kita, dan kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan tulis, sebagaimana yang diterapkan di sebagian daerah di Maroko, yakni dengan menuliskan hafalan di atas papan kecil yang dipegang oleh murid, setelah mereka menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci dengan air.
Menggunakan satu jenis mushaf Al-Quran juga dapat menguatkan hafalan. Jangan sekali-kali pindah dari satu jenis mushaf kepada yang lain. Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita lihat. Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau oleh penyair dalam tulisannya :
“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga- , maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu. “
Ada beberapa model penulisan mushaf, diantaranya adalah: Mushaf Madinah atau terkenal dengan Al-Quran pojok, satu juz dari mushaf ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap halaman dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah (Mushaf Pojok) ini paling banyak dipakai oleh para pengahafal Al-Quran, banyak dibagi-bagikan oleh pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji. Cetakan-cetakan Al-Quran sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Dan bentuk mushaf seperti ini paling baik untuk dipakai menghafal Al-Quran. Ada juga model lain, seperti mushaf Al-Quran yang dipakai oleh sebagian orang Mesir, ada juga mushaf yang dipakai oleh sebagian orang Pakistan dan India, bahkan ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren tahfidh Al-Quran di Indonesia yang dicetak oleh Penerbit Menara Kudus.
Faktor lain yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih). Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa (mutasyabih), hafalannya akan tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat yang ada di juz lima misalnya akan terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang semestinya ada di surat Al-Ma-idah akan terbawa ke surat Al-Baqarah, dan begitu seterusnya.
D. Manajemen istiqamah
Setelah Al-Quran dihafal secara penuh (30 juz), seringkali seorang hafidz disibukkan oleh studinya, atau menikah atau sibuk dengan pekerjaan, dan tidak lagi mempunyai program untuk menjaga hafalannya kembali, sehingga Al-Qur’an yang sudah dihafalnya beberapa tahun, akhirnya hanya tinggal kenangan saja. ia merasa berat untuk mengembalikan hafalannya lagi.
Yang terpenting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang mampu menghafal Al-Quran dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita melestarikan hafalan tersebut agar tetap terus ada dalam dada kita. Sering diungkapkan bahwa tugas seorang hafidz adalah menjaga hafalan.  Istilah “menjaga hafalan” ini sebenarnya cenderung negatif, sebab dikesankan bahwa seorang hafidz itu tugasnya seperti petugas security (Satpam) yang hanya menjaga tidak menikmati apa yang dijaganya. Bayangan yang muncul dibenak masyarakat umum, bahwa menghafal al-Quran itu identik dengan menambah beban hidup menjadi lebih berat. Saatnya kita rubah istilah tersebut dengan “melestarikan hafalan atau menikmati al-Quran”, sehingga tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai sarana hiburan diri.
Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk melestarikan hafalan diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al-Quran, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya.
Mengulangi hafalan perlu dilakukan dalam shalat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa lebih ringan, hendaknya setiap shalat dibagi menjadi dua bagian, sebelum shalat dan sesudahnya. Misalnya, sebelum shalat: sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum azan agar waktu untuk mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah shalat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da shalat atau dzikir pagi pada shalat shubuh dan setelah dzikir selepas shalat Asar. Seandainya saja, ia mampu mengulangi hafalannya sebelum shalat sebanyak seperempat juz dan sesudah shalat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia boleh mengulangi hafalannya sebanyak dua juz setengah.
Kalau istiqamah seperti ini, maka dia boleh mengkhatamkan hafalannya setiap dua belas hari, tanpa menyita waktunya sama sekali. Kalau dia mampu menyempurnakan setengah juz setiap hari pada shalat malam atau shalat-shalat sunnah lainnya, berarti dia boleh menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan boleh mengkhatamkan Al-Quran pada setiap sepuluh hari sekali. Banyak para ulama dahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali. Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam saja, yaitu ketika ia mengerjakan shalat tahajud. Biasanya dia menghabiskan shalat tahajudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu, selama dua jam itu berapa juz yang ia dapatkan. Menurut ukuran umum, kalau hafalannya lancar, biasanya ia boleh menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti, selama dua jam dia boleh menyelesaikan dua sampai tiga juz dengan dikurangi waktu sujud dan ruku.
Ada juga sebagian teman yang mengulangi hafalannya dengan cara masuk dalam halaqah para penghafal Al-Quran. Kalau halaqah tersebut berkumpul setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib mendengarkan hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta mampu mengkhatamkan Al-Quran setiap lima belas hari sekali. Inipun hanya boleh terlaksana jika masing-masing dari peserta mengulangi hafalannya sendiri-sendiri dahulu.
E. Manajemen tempat
Tempat yang kondusif akan memberikan pengaruh signifikan terhadap kesuksesan menghafal. Mereka yang tinggal di lingkungan yang cuek atau bahkan anti dengan bunyi-bunyian al-Quran akan merasa canggung untuk menghafal setiap saat. Sebaliknya mereka yang tinggal di pesantren khusus tahfidz, akan merasakan sebuah lingkungan yang kondusif, mau menghafal kapan saja dan dimana saja dan dengan cara apapun, tidak ada problem.
Secara umum, tempat yang paling kondusif untuk menghafal adalah masjid. Namun, kadang masing-masing orang memiliki selera dan tingkat kejenuhan yang berbeda, sehingga diperlukan alternatif tempat lain yang sunyi, seperti: di sawah, sungai, gunung, pesisir. Ada juga yang menghafal di dekat makam ulama-ulama terkenal, seperti di makam syeikh Hasyim Asyari Jombang yang sering dipakai tempat menghafal oleh santri-santri Pesantren “Madrasatul al-Quran”.
Ketika seseorang sudah hafal dan lancar, tempat tidak lagi menjadi soal. Sebab, ia bisa melakukan murajaah di manapun; di atas pesawat, motor, mobil atau di tempat keramaian sekalipun. Terutama, saat al-Quran sudah dapat dimasukkan ke ponsel (HP), dengan begitu tidak ada lagi rasa “sungkan” membawa dan membaca al-Quran di tengah kerumunan massa. Tentu, itu dilakukan dengan suara pelan yang tidak sampai mengusik atau menyita perhatian orang lain.
F. Manajemen tahsin (memperindah bacaan)
Faktor lain agar bacaan kita baik dan tidak salah, adalah meningkatkan intensitas mendengar bacaan Al-Quran murattal dari qori’-qor’ terkenal yang bagus suara dan bacaannya melalui kaset, MP3 atau HP. Kalau boleh, tidak hanya sekadar mendengar sambil mengerjakan pekerjaan lain, akan tetapi mendengar dengan serius dan teratur. Untuk diketahui, akhir-akhir ini – Alhamdulillah – banyak program TV yang menyiarkan secara langsung pelajaran Al-Quran murattal dari seorang qori’ yang bagus. Bisa juga mendapatkan audio atau video murottal dari internet di situs:www.Mp3Quran.net, atau dengan mengetikkan nama qori’ yang dikehendaki pada situs: www.youtube.com, kemudian URLnya dikopi ke www.youddl.com dan siap didownload.
DAFTAR RUJUKAN
1. Imam Nawawi, Al Majmu’, (Beirut, Dar Al Fikri, 1996) Cet. Pertama
2. Hadis riwayat Abu Daud ( no : 1319 ), disahihkan oleh Syekh Al Bani dalam Sahih Sunan Abu Daud
3. Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Ashal Nidham Li Hifdhi Al-Quran, ( Kairo, Maktabah Al Islamiyah, 2002 ) Cet. Ketiga
4. Abu Dzar Al Qalamuni, ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al-Quran, ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitsam, 1998 ) Cet Pertama
5. Imam Nawawi, At-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran

1 komentar:

  1. Sepengetahuan saya tidur 8 jam itu adalah ajaran medis Barat.
    Para nabi cuma tidur sedikit...

    BalasHapus